
Oleh : Dr. Joko Susilo Raharjo S.PdI.,MM. Dosen STIPAN Lenteng Agung Jakarta Selatan
Hakikat budaya nasional identik dengan pembangunan nasional, dan pembangunan nasional hakikatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, secara adil, merata; baik jasmani maupun rohani berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tulisan saya ini merujuk dari tulisan Drs. Imam Sutardjo, M.Hum.yang mengungkap dan mengkaji konsep kepemimpinan “hasthabrata” dalam budaya Jawa yang tersirat dan tersurat dalam naskah-naskah lama pada zaman Surakarta awal. Karena pada zaman tersebut terjadi dua model penciptaan karya sastra (naskah), yaitu dengan cara pembangunan atau jarwan ‘terjemahan’ dari karya Jawa Kuna diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Baru, dan dengan yasan enggal ‘membuat karya baru’ (Poerbatjaraka, 1952: 152). Hasil dari penciptaan naskah-naskah tersebut dapat mentranfer konsep-konsep kepemimpinan paham Hindu, yang beranggapan bahwa raja itu merupakan dewa angejawantah ‘dewa yang menjelma menjadi raja’, dengan istilah “dewa raja kultus”. Raja ideal haruslah sekti mandraguna, mukti wibawa anyakrawati ambau dhendha; artinya sakti (lahir dan batin), berwibawa dan mulia, dapat menguasai dunia dengan kekuatan dan aturannya. Karena sabda seorang raja merupakan hukum atau undang-undang yang harus dilaksanakan dan dipatuhi, dengan istilah Jawa: sabda brahmana raja, pangandikane ratu datan kena wola-wali sepisan dadi ‘perkataan seorang brahmana dan raja, sabda seorang pemimpin kerajaan tidak boleh diulang-ulang, sekali bersabda jadilah’. Untuk itu “HASTHABRATA” Konsep Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa Dapat Dijadiak Rujukan Dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Kepemimpinan negara Republik Indonesia amat dipengaruhi oleh kekuasaan raja sebelumnya, mengingat di nusantara ini dahulu berdiri negara- negara besar dan berwibawa, misalnya Kerajaan Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram. Kerajaan yang amat berpengaruh terhadap konsep- konsep kepemimpinan dewasa ini adalah Kerajaan Mataram Islam (Sultan Agung). Raja benar-benar amat berkuasa, dan kebesaran dari kekuasaan tersebut terlihat dan tercermin pada: (a) gelar sang raja yang disandangnya,
(b) legitimasi dengan mitos, dan (c) kepemilikan atau pengumpulan pusaka.
Gelar semua Raja Mataram setelah Panembahan Senapati (Sutawijaya) adalah susuhunan, dan yang menggunakan sultan hanyalah Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613 – 1646). Susuhunan berarti yang dipuji, dihormati (ditaruh di atas kepala), sedang sultan adalah sebutan raja dalam atau di negeri- negeri Islam. Sehingga secara keseluruhan sebutan atau gelar Raja Mataram menjadi: “Susuhunan … Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah”. Dari gelar tersebut kekuasaan raja mencakup tiga hal, yaitu urusan pemerintahan (hukum) pada umumnya, militer, dan agama. Tugas raja terhadap agama tercemin dalam nama: Sayidin Panatagama Khalifatullah. Sayidin merupakan ahli agama, panatagama berarti yang mengatur agama yang dianut oleh semua rakyat, dan agama ageming aji; maksudnya bahwa agama merupakan pakaian, kebutuhan hidup sang raja. Dengan sebutan khalifah tersebut seorang raja mengaku dirinya adalah wakil nabi, sehingga raja merupakan warananing Allah ‘wakil, proyeksi, layar atau penjelmaan Tuhan).
Dalam hal hukum, Raja Mataram adalah pembuat dan pelaksana (pengendali) hukum itu sendiri. Raja menjadi hakim tertinggi, yang sering menghukum mati siapa saja yang dianggap melakukan kesalahan besar terhadap raja. Kebesaran kekuasaan raja yang tak terbatas tersebut, maka raja sering disebut: gung binathara, nyakrawati ambau dhendha (kekuasannya amat besar laksana dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). Maka raja dikatakan wenang murba hamisesa wong sanagara (berkuasa di seluruh negeri, berwenang menguasai dan mengendalikan semua rakyat). Seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, karena negara adalah dirinya atau miliknya. Hal tersebut senada dengan pernyataan Louis XIV dari Perancis (meninggal 1715), mengatakan: “l’etat c’est moi ‘negara adalah saya’. Maka dari itu, raja bertugas untuk selalu menjaga negara seisinya agar teratur, bumi menjadi subur dan makmur; rakyat dapat hidup dengan aman, nyaman, dan tenteram (anjaga tata tentrem lan karta raharjaning praja). Untuk menjalankan tugas tersebut, para pujangga atau raja membuat aturan (piwulang, etika) yang dijadikan sebagai pedoman agar para pejabat kerajaan (pemimpin) dalam menjalankan tugasnya selalu berperilaku baik dan bertanggung jawab. Salah satu piwulang tersebut adalah “delapan kewajiban negarawan” yang dinamakan hasthabrata ‘delapan pegangan atau sikap’ (Moedjanto, 2001: vi).
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa konsep kepemimpinan dalam budaya Jawa bersifat absolut, penguasa tunggal. Raja bukan saja pembuat hukum, bahkan ia sendiri adalah hukum. Raja bukan sekedar pemimpin kerajaan atau negara, tetapi ia sendiri adalah negara. Konsep kekerasan dan kesewenang-wenangan tersebut harus dilakukan oleh seorang pemimpin atau raja pada waktu itu, karena untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan pada masa itu memang keras dan harus mengandalkan kekuatan; hukum rimba yang berlaku, sehingga siapa yang kuat akan selalu berkuasa dan menindas yang lemah, sebagai akibatnya keadilan belum terpikirkan. Sejarah menunjukan bahwa power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely ‘kekuasan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut pula’ (Acton dalam Moedjanto, 2001: xxiii).
Konsep kesewenang-wenangan tersebut setelah pengaruh Islam yang dibawa oleh para wali atau wali sanga masuk di tanah Jawa, konsep absolut tersebut cenderung memudar, dan lebih menuju kepada rahmatan lil alamin; yaitu pemimpin atau raja harus menjadi penasihat, teladan,pengayom, pelindung negara dan rakyat. Bahkan dalam penobatan raja pun diperlukan restu dari ulama atau wali sanga, sehingga gelar raja-raja Jawa dinasti Mataram Islam menggunakan gelar Susuhunan, terkecuali Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pengaruh Islam ini selain terlihat dalam konsep pemberian gelar seorang raja, juga dalam konsep-konsep kepemimpinan seorang raja dalam mengatur negara atau kerajaan. Kepemimpinan berkaitan dengan pemimpin, yang pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dan kekuasaan merupakan kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan berbagai tugas yang harus dilaksanakan (Nanang Fattah, 2001: 88).
Setiap manusia pada hakikatnya adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri; bahkan sebagai pemimpin keluarga, masyarakat, bangsa dan pemimpin negara. Sehingga keteladanan pimpinan dalam berbagai sektor sangat dibutuhkan dan amat menentukan keberhasilannya. Terlebih pemimpin bangsa yang dapat diteladani (ing ngarsa sung tuladha) dapat menimbulkan kesadaran dan perilaku individu maupun kolektif, selaras dengan prinsip- prinsip kepemimpinan yang disepakatinya. Keadaan tersebut dapat merupakan kekuatan besar dan dambaan bersama dalam rangka menciptakan bangsa yang jaya, berwibawa, berbudaya dan beradab, jauh dari berbagai watak biadab dan “HASTHABRATA” Konsep Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa Dapat Dijadiak Rujukan Dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045.asalkan komitmen pemimpinnya jelas dan pasti dalam berkomitmen. Dalam teori kepemimpinan dikenal pimpinan yang otokratis, otoriter, pemimpin yang demokratis, otoriter, pemimpin yang terbagi dan sebagainya. Adanya jenis-jenis pemimpin tersebut, muncullah teori kepemimpinan dengan sudut pandang yang berbeda-beda, dan ada lima teori kepemimpinan, yakni treats theory, environmental theory;personal situational theory, interaction expectation theory, dan exchange theory (Gunawan Sumodiningrat dalam Bram Setiadi, 2001: 23).
Seseorang yang dipilih dan diangkat menjadi pemimpin harus memenuhi tiga kriteria yang saling terkait tak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain ialah legal, prosedural, dan profesional. Kriteria legal menyangkut masalah keabsahan secara hukum dalam masyarakat yang mengangkatnya sebagai pemimpin. Kriteria profesional merupakan kemampuan diri pemimpin dalam menjalankan tugas atau kepemimpinannya. Adapun kriteria prosedural berhubungan dengan proses pengangkatan atau penunjukan yang telah disepakati oleh masyarakatnya. Pemimpin yang telah memenuhi tiga kriteria tersebut merupakan pemimpin yang menjadi harapan masyarakat, bangsa dan neegara.
Khusus kriteria profesional, pemimpin yang ideal haruslah memiliki karakteristik 13 (tiga belas) hal, yaitu: (1) memiliki kekuatan jasmani dan rohani yang cukup, (2) memiliki semangat dan antusias untuk mencapai tujuan,(3) ramah tamah dan penuh perasaan, (4) cerdas dan memiliki kecakapan teknis, (5) dapat mengambil keputusan, (6) memiliki kecakapan mendidik atau mengajar, (7) jujur dan adil, (8) memiliki kebenaran, penuh keyakinan dan percaya diri, (9) ulet dan tahan uji, (10) suka melindungi, (11) penuh inisiatif, simpatik, dan memiliki daya tarik; (12) bergairah dalam bekerja dan bertanggung jawab; (13) waspada, rendah hati, dan objektif (Nanang Fattah, 2001: 90). Karakteristik pemimpin ideal tersebut tentunya tidaklah mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin.Hanya sebagian karakter yang dimiliki oleh seorang pemimpin sudah dapat dikatakan pemimpin yang baik. Karakter tersebut menampakkan adanya nilai keteladanan dan kejuangan yang tentu saja akan tampak dalam patrap ‘tingkah laku – perbuatan’, dan pangucap ‘tutur kata’ dari seorang pemimpin. Patrap dan pangucap mencerminkan keteladanan dan kejuangannya. Nilai keteladanan dan nilai kejuangan pemimpin mencerminkan pula budaya masyarakat yang mendukungnya.
Konsep-konsep ajaran kepemimpinan “hasthabrata” dalam budaya Jawa banyak diutarakan dalam naskah lakon (wayang) dan naskah piwulang. Naskah-naskah Jawa yang memuat konsep-konsep kepemimpinan Jawa misalnya Serat Rama Jarwa, Aji Pamasa, Serat Sewaka, dan sebagainya (Poerbatjaraka, 1952: 163-164), termasuk naskah-naskah teks pertunjukan wayang purwa. Pemimpin dalam mengatur negara biasanya selalu diamati dan dinilai oleh anak buah dan segenap rakyat, dan karakter pemimpin biasanya dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu pemimpin yang nistha ‘jelek, jahat’, madya ‘sedang’, dan utama ‘baik atau mulia’. Ajaran tersebut ditulis oleh pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat Raden Ngabehi Yasadipura dalam Serat Rama Jarwa, dan Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam buku Ajipamasa. Pemimpin dikatakan utama dan tergolong baik atau terhormat apabila selalu membantu, menolong dan mensejahterakan nasib rakyat. Seorang pemimpin juga harus selalu menetapi semua janji yang telah diucapkan. Sehingga pemimpin telah mencapai tingkatan utama apabila berbudi luhur, berhati sentosa, berbelas kasih, dan selalu berjuang atau berbakti demi bangsa dan negara; dengan cara melalu menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu selalu mengatur, meneliti, memeriksa, dan menguasai atau memahami berbagai masalah bangsa dan negara dengan konsep hasthabrata.
konsep kepemimpinan hasthabrata dalam budaya Jawa yang ditulis dan diwariskan oleh para raja dan pujangga pada masa lampau itu, apabila dijadikan pedoman (rujukan) dalam mengatur, menata bangsa dan negara masih relevan dan sangat baik. Ajaran tersebut diberikan kepada generasi penerus agar dapat dijadikan salah satu pegangan dalam menjalankan tugas kepemimpinan, sehingga pemimpin dalam mengoordinasi anak buah tidak semaunya sendiri, tanpa arah dan tujuan.Pada zaman Surakarta awal konsep kepemimpinan hasthabrata yang telah diwariskan dan ditulis dalam naskah lama adalah adanya tingkatan kepemimpinan yang nistha ‘jelek’, madya ‘sedang’ dan utama ‘baik, ideal’. Konsep kepemimpinan yang baik adalah hasthabrata ‘delapan kewajiban negarawan atau pemimpin’, yaitu dapat meneladani dan menerapkan watak 8 (delapan) dewa, yaitu: Indra, Surya, Bayu, Kuwera, Baruna, Yama, Candra, dan Brama. Atau berwatak kosmosentris, delapan anasir alam semesta, yaitu: matahari, bulan, bintang, awan, angin, api, laut dan tanah.
Konsep Hasthabrata ‘Delapan Sikap’ Hastha berarti 8 (delapan), brata berarti sikap dan perbuatan. Kedelapan sikap tersebut merupakan pedoman dan pegangan serta kewajiban seorang negarawan yang harus dilakukan oleh para pemimpin. Ajaran hasthabrata ini antara Serat Rama Jarwa (Yasadipura) dengan Serat Ajipamasa (Ranggawarsita) terdapat perbedaan, yaitu dalam Serat Rama digambarkan dengan delapan dewa (mengingat waktu itu paham Hindu atau dewa masih amat kuat), dan setelah Islam masuk ajaran hasthabrata digambarkan dengan delapan anasir bumi atau kosmos alam semesta. Hal tersebut karena paham Hindu semakin memudar dalam masyarakat Jawa. Sehingga ajaran hasthabrata ini bersifat universal dan tetap up to date dapat diterapkan di berbagai negara di era globalisasi dewasa ini. Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa watak atau karakter serta teladan seorang pemimpin yang utama atau baik harus menjalankan 8 (delapan) watak dan perbuatan, yaitu mahambeg atau berwatak.
- Pratala ‘Tanah‘
Maksudnya seorang pemimpin hendaknya selalu menolong, membantu, bersedekah atau memberi, selalu membuat senang orang lain dan ikhlas dalam segala berbuat, dan tidak pendendam.
- Tirta ‘Air’
Seorang pemimpin hendaknya selalu bersifat pemaaf terhadap siapa saja, dan selalu membuat ketentraman, kesejukan serta kedamaian terhadap semua manusia atau rakyatnya.
- Dahana ‘Api’
Maksudnya seorang pemimpin hendaknya selalu menjaga kewibawaan dan aib negara, menghilangkan kotoran bumi hingga lenyap seluruh kejahatan. Adil dalam memberantas kejahatan dan musuh negara. Selalu membuat terang dan tidak merugikan orang lain, sabar dalam meraih cita-cita, tidak tamak, dan penuh semangat.
- Maruta ‘Angin’
Seorang pemimpin hendaknya selalu waspada, selalu mengamati kepribadian dan perbuatan orang lain (merakyat), dapat berbaur dengan siapa saja dan dimana saja. Besar kecil tercakup, segala perbuatannya selalu bermanfaat terhadap orang lain, jauh dari berbagai kepentingan dan maksud pribadi, bermanfaat bagi siapa saja, tidak sakit bila dikritik orang lain.
- Surya ‘Matahari’
Maksudnya seorang pemimpin harus sabar dalam menjalankan tugas dan kewajiban, serba hati-hati, selalu memberi pencerahan, motivasi atau semangat rakyat, serta tidak mudah putus asa.
- Candra ‘Bulan’
Seorang pemimpin hendaknya dapat menjadi penyejuk, membuat kedamaian, ketentraman, dan kesenangan hati rakyat, sabar, tidak kejam, berperilaku halus, serta sangat berbelas kasih kepada sesama.
- Sudama ‘Bintang’
Maksudnya seorang pemimpin bersifat sopan santun, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh dan terkena godaan, berkemauan mantap, penuh kepercayaan, tidak munafik, dan gemar memberi petuah kepada segenap anak buah dan rakyat, serta dapat menjadi panutan atau keteladanan (ing ngarsa sung tuladha).
- Mendhung ‘Awan’
Pemimpin dapat mengendalikan keadaan serta kewibawaan bangsa dan negara, harus adil dalam menegakkan kebenaran, dan senang menolong serta membantu kebutuhan rakyat.
Berikut 3 konsep ,Hasthabrata Versi Serat Rama Jarwa ,Hasthabrata Versi Serat Ajipamasa dan Konsep Hasthabrata Versi Pedhalangan atau Pertunjukan Wayang sebagai bahan rujukan :
1.Hasthabrata Versi Serat Rama Jarwa
Seorang pemimpin dalam mengatur bangsa dan negara harus berpegang pada watak dewa yang berjumlah delapan, yaitu Dewa Indra, Surya, Bayu, Kuwera, Baruna, Yama, Candra, dan Brama.
- Dewa Indra: seorang pemimpin harus memberi sesuatu yang menyenangkan kepada rakyat dan memberi bantuan tanpa pandang bulu, serta selalu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
- Dewa Surya: menjadi pemimpin harus selalu memotivasi dan kasih sayang kepada rakyat, tidak galak tidak kejam dan membawa rakyat ke arah kebaikan.
- Dewa Bayu: seorang pemimpin selalu dekat dengan rakyat, mengamati dan mengetahui kesungguhan rakyat dalam menjalankan pekerjaanatau kewajibannya dengan sembunyi-sembunyi, sehingga rakyat tidak akan mencari muka.
- Dewa Kuwera : Pemimpin harus selalu menolong dan memberi kebutuhan rakyat, memberi sedekah, meningkatkan rejeki atau taraf hidup rakyat, dan percaya kepada para prajurit dan segenap
- Dewa Baruna ; Pemimpin harus tegas dan adil, digambarkan selalu membawa senjata demi kebaikan rakyat, dan selalu memikirkan serta melakukan langkah konkrit agar semua rakyat patuh terhadap hukum serta berbuat baik.
- Dewa Yama; pemimpin dalam menegakkan hukum dan keadilan harus adil, semua penjahat yang merugikan rakyat, bangsa dan negara harus diadili dan dihancurkan tanpa pilih kasih.
- Dewa Candra : seorang pemimpin juga harus pemaaf, selalu menyenangkan, sopan , rendah hati, kasih sayang, dan menghormati brahmana serta melaksanakan agama dengan tekun.
- Dewa Brama: seorang pemimpin harus melindungi semua rakyat dari berbagai ancaman dan marabahaya, sehingga semua musuh harus Setelah itu pemimpin harus selalu mengupayakan nafkah rakyat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, bangsa serta negara.
Kedelapan watak tersebut dipaparkan dalam Pupuh Pangkur bait 16 – 35 sebagai sumbernya .
- Hasthabrata Versi Serat Ajipamasa
Delapan konsep kepemimpinan yang harus dilakukan oleh para negarawan atau pemimpin adalah harus melaksanakan 8 (delapan) anasir bumi, yaitu berwatak: tanah, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan mendhung ‘awan’. Hal tersebut terdapat dan dipaparkan pada tembang Girisa, bait 2 – 14; sebagai sumbernya .
3.Konsep Hasthabrata Versi Pedhalangan atau Pertunjukan Wayang.
Dalam pertunjukan wayang purwa cerita Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (penjelmaan Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna di Gunung Kutarunggu bahwa seorang raja atau pemimpin harus berwatak matahari, bulan, bintang, awan, angin, api, laut, dan tanah.Makutharama berasal dari kata makutha ‘mahkota’ dan kata rama ‘Prabu Ramawijaya’ Raja Pancawati titisan Dewa Wisnu yang mengajarkan ajaran hasthabrata kepada Gunawan Wibisana sewaktu memerintah Negara Singgela, adik Rahwana Raja Alengka. Setelah Prabu Rama mati, menitis kepada Prabu Kresna Raja Dwarawati, dan Prabu Kresna menyamar menjadi Begawan Kesawasidi tersebut yang melestarikan dan mengajarkan konsep hasthabrata kepada Arjuna. Adapun ajaran kepemimpinan hasthabrata itu sebagai berikut.
- kapisan bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya . Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang surya nora daya- daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.
- Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hanengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.
- Katelu hambeging kartika, tegese ansah dadya pepesrenng ngantariksa madyaning ratri. Laune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kangguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam keblating sagung dumadi.
- Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti mnangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha.
- Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; laune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.
- Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
- Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang Sen- isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.
- Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para Danane hanggeganjar yang kawula kang labuh myang hanggulawenthah (Purwadi, 1994: 139).
Maksud dari ajaran tersebut dapat dijelaskan bahwa seorang pemimpin harus berwatak kosmosentris, yaitu memiliki watak.
- Matahari (Surya)
Matahari mempunyai sifat panas, penuh energi, serta memberi bara hidup. Maksudnya setiap pemimpin agar dapat memberi semangat, motivasi, spirit dan memberi kehidupan kepada anak buah serta rakyatnya.
- Bulan (Candra)
Bulan mempunyai wujud indah dan menerangi dalam kegelapan. Maksudnya setiap pemimpin dapat menyenangkan dan memberi penerang (kesenangan, solusi), pencerahan dalam kegelapan bagi anak buah beserta rakyatnya.
- Bintang (Kartika)
Bintang mempunyai bentuk yang indah dan menjadi hiasan pada waktu malam yang sunyi dan menjadi pedoman bagi yang kehilangan arah. Maksudnya bahwa seorang pemimpin dapat menjadi pedoman (teladan) bagi anak buah dan rakyatnya.
- Mendhung (Awan, Hima)
Mendung mempunyai sifat menakutkan, namun setelah menjadi hujan dapat menghidupkan segala yang tumbuh. Maksudnya setiap pemimpin harus berwibawa, akan tetapi tindakannya harus bermanfaat dan melindungi bagi anak buah dan rakyat.
- Angin (Maruta)
Angin mempunyai sifat mengisi setiap ruangan yang kosong, walaupun tempatnya amat rumit.Maksudnya setiap pemimpin dapat melakukan tindakan yang teliti, cermat, mau turun ke lapangan (incognito) untuk menyelami keadaan yang sebenarnya kehidupan anak buah dan rakyat.
- Api (Dahana)
Api mempunyai sifat tegak dan membakar apa saja yang bersentuhan dengannya. Maksudnya seorang pemimpin harus bertindak adil, tetap tegas dan tegak tidak pandang bulu; atau seorang pemimpin harus teges,tegas, tega, tegel, dan tetegdalam menegakkan serta membasmi kejahatan bangsa dan negara.
- Laut (Samodra)
Laut mempunyai sifat luas dan rata. Maksudnya seorang pemimpin harus memiliki pandangan atau wawasan yang luas dan berkeadilan, sanggup menerima berbagai persoalan, sabar serta tidak membenci terhadap orang lain.
- Bumi (Tanah, Pratala)
Bumi mempunyai sifat sentosa dan suci. Maksudnya seorang pemimpin harus berbudi sentosa, jujur, serta mau memberi anugerah (hadiah) kepada siapa saja yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.
Kedelapan unsur alam di atas secara simbolis mencerminkan sifat kepemimpinan dan merupakan suatu metafora yang mengkonkretkan suatu konsep kepemimpinan agar dapat diterapkan.Hal itu berdasarkan kenyataan bahwa kedelapan unsur alam tersebut selalu berada di sekitar kita dan di dalam berhadapan dengan manusia.Sehingga apabila para pemimpin dapat bercermin dengan alam, kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik dan gemilang karena alam telah diatur oleh Yang Mahakuasa secara sistematis berjalan pada tempatnya masing-masing. Harapan kami semoga dengan tulisan ini dapat dijadikan rujukan pemimpin Bangsa Indonesia baik tingkat Pusat Maupun Tingkat Daerah Dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045.(DR JSRW).Parung Bogor Minggu 4 Mei 2025