
Oleh: Dr. Timed Magayang, S.IP., M.Si. (Pemerhati Pemerintahan dan Lingkungan Papua)
Dalam semangat reformasi dan otonomi daerah, banyak yang berharap bahwa pengelolaan sumber daya alam akan menjadi lebih adil dan berpihak pada masyarakat lokal. Namun, realitas di lapangan berkata sebaliknya. Dalam hal perizinan tambang, pemerintah pusat masih memegang kendali penuh. Daerah, tempat di mana aktivitas tambang berlangsung dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, justru hanya menjadi penonton.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), kewenangan pengeluaran izin usaha pertambangan tidak lagi berada di tangan pemerintah daerah. Bahkan, pemerintah provinsi pun hanya diberi ruang terbatas dalam proses pengawasan. Ini menjadi ironi besar bagi daerah-daerah penghasil tambang seperti Papua, Kalimantan, atau Sulawesi, yang tanahnya digali habis-habisan sementara masyarakatnya tetap miskin dan terpinggirkan.
Pemerintah pusat beralasan bahwa sentralisasi izin dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan menghindari tumpang tindih kebijakan. Namun faktanya, banyak perusahaan tambang justru merasa lebih nyaman karena bisa “berurusan langsung” dengan Jakarta, tanpa harus berhadapan dengan resistensi masyarakat lokal atau pemerintah daerah.
Sementara itu, pemerintah daerah hanya bisa mengeluh. Mereka tidak bisa melarang, tidak bisa menyaring, apalagi mencabut izin. Padahal mereka yang harus menenangkan masyarakat saat konflik agraria pecah, saat air sungai tercemar limbah tambang, atau saat tanah ulayat dirampas atas nama investasi.
Lebih parah lagi, pendapatan daerah dari sektor tambang sering tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Infrastruktur rusak, kesehatan masyarakat menurun, dan konflik sosial meningkat. Di sisi lain, dana bagi hasil dan royalti yang ditransfer ke daerah sangat kecil dan tidak transparan. Ini adalah bentuk nyata ketimpangan struktural yang terus dilanggengkan oleh sistem sentralisasi sumber daya.
Sudah saatnya pemerintah pusat mengevaluasi pendekatan ini. Jika otonomi daerah masih menjadi prinsip utama dalam tata kelola negara, maka daerah harus diberi ruang dalam proses perizinan tambang, setidaknya dalam bentuk persetujuan lingkungan dan sosial yang mengikat.
Pemerintah daerah bukan hanya sekadar pelapor dan pengawas pasif. Mereka adalah pihak yang paling mengetahui konteks lokal, kearifan adat, dan aspirasi masyarakat. Mengabaikan mereka sama artinya dengan membiarkan eksploitasi berjalan tanpa kendali.
Tambang bisa jadi berkah, tapi hanya jika dikelola secara adil dan partisipatif. Tanpa itu, tambang hanya akan menjadi kutukan yang meninggalkan jejak luka panjang bagi generasi di daerah.