
Oleh : Dr. Timed Magayang, S.IP., M.Si.
Tulisan ini menyoroti ketimpangan pembangunan antara infrastruktur fisik dan sektor pendidikan di Papua. Dalam satu sisi, Papua mengalami percepatan pembangunan dalam bentuk pembukaan jalan, perluasan tambang, dan proyek strategis nasional lainnya. Namun di sisi lain, anak-anak Papua, terutama di wilayah pedalaman dan pegunungan, masih menghadapi kendala serius dalam akses dan mutu pendidikan. Artikel ini mengkritisi arah pembangunan yang lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dibandingkan pembangunan sumber daya manusia, serta mendorong pergeseran kebijakan menuju keadilan pendidikan di Papua.
Papua adalah wilayah yang kaya sumber daya alam tetapi ironisnya tetap berada dalam kategori ketertinggalan pembangunan manusia. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan BPS, Papua dan Papua Pegunungan secara konsisten berada di peringkat terendah secara nasional. Salah satu indikator utama IPM-pendidikan-menjadi masalah krusial yang tidak kunjung terselesaikan. Ketimpangan pembangunan yang lebih berfokus pada fisik dan ekonomi, seperti jalan dan tambang, telah mengorbankan hak dasar anak Papua untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Pembangunan Infrastruktur: Siapa yang Diuntungkan? Pemerintah pusat melalui pendekatan pembangunan infrastruktur gencar membuka akses jalan trans Papua, pelabuhan, hingga bandara. Namun, infrastruktur tersebut kerap berorientasi pada penguatan akses ekonomi-terutama pertambangan dan logistik perusahaan besar-daripada untuk membuka akses pendidikan dan pelayanan dasar. Banyak jalan dibangun ke arah tambang dan lokasi strategis perusahaan, bukan ke desa-desa terpencil yang sangat membutuhkan konektivitas menuju sekolah dan puskesmas.
Kondisi Nyata Pendidikan di Pedalaman Papua: Berdasarkan laporan LIPI dan hasil pengamatan langsung di sejumlah kabupaten di Papua Pegunungan dan Papua Tengah, kondisi pendidikan sangat memprihatinkan: sekolah tidak layak, kekurangan guru, medan berat untuk murid, serta kurikulum yang tidak kontekstual. Ini mencerminkan bahwa investasi pembangunan tidak diarahkan untuk memperkuat fondasi pendidikan yang menjadi penentu kualitas masa depan Papua.
Ketimpangan Alokasi Anggaran dan Manajemen Pendidikan: Papua sejatinya memiliki potensi fiskal besar dari Dana Otonomi Khusus (Otsus), namun realisasi anggaran pendidikan tidak optimal. Banyak dana habis untuk birokrasi dan kegiatan administratif yang jauh dari kebutuhan nyata sekolah dan murid. Minimnya pengawasan dan lemahnya tata kelola memperburuk kondisi ini.
Pendidikan yang Relevan dan Berkeadilan:Pendidikan di Papua harus kontekstual, fleksibel, kolaboratif, dan bermakna. Ia harus menghargai realitas sosial-budaya masyarakat adat dan memberdayakan generasi muda dalam konteks lokal mereka, bukan sekadar mengejar keseragaman nasional yang tidak relevan.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan: Papua tidak kekurangan tambang, jalan, atau mega proyek. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan nyata terhadap pembangunan manusia, terutama anak-anak. Pembangunan infrastruktur tanpa penguatan pendidikan hanya akan melanggengkan ketimpangan dan menjadikan masyarakat Papua sebagai penonton di atas tanahnya sendiri.
Rekomendasi:
1.Reorientasi anggaran Otsus untuk pendidikan dasar dan menengah.
2.Percepatan rekrutmen dan insentif guru lokal.
3.Penguatan sekolah kontekstual berbasis komunitas adat.
4.Pengawasan ketat terhadap dana pendidikan.
5.Fasilitasi pembangunan asrama dan transportasi pendidikan.
Penutup: Papua adalah tanah harapan dan masa depan Indonesia. Namun masa depan itu hanya akan terwujud bila pendidikan menjadi fondasi utama pembangunan. Ketika anak-anak Papua tetap tidak sekolah di tengah maraknya tambang dan jalan, kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dibangun, dan untuk siapa Papua ini dikelola?