
Oleh : Dr. Mendra Wijaya Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau & Dr. Joko Susilo RW Dosen STIPAN Abdi Negara, Jakarta Selatan
Lebih satu dekade dilakukan penghentian sementara atau moratorium pemekaran daerah oleh pemerintah. Isu pencabutan moratorium dimunculkan kembali sejak medio tahun 2024, tepatnya setelah Komisi II DPR RI pada September 2024 yang meminta Kementerian Dalam Negeri untuk menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penataan Daerah, dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Desain Besar Penataan Daerah (Desartada). Permintaan tersebut sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk meninjau kembali kebijakan moratorium pembentukan DOB yang kemudian dilanjutkan Rapat Kerja Komite I DPD RI dengan Kementerian Dalam Negeri pada desember 2024 yang membahas 42 usulan pemekaran provinsi, 248 pemekaran kabupaten, 36 pemekaran kota, enam pemekaran daerah istimewa, dan lima pemekaran otonomi khusus. Kemudian terakhir dilanjutkan dengan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dan Direktorat Jnderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri pada 24 April 2025.
Isu pemekaran wilayah atau pembentukan Daerah Otonom (DOB) baru di Indonesia merupakan masalah kompleks yang memerlukan pertimbangan cermat. Selain dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan dan peningkatan penyediaan layanan publik, usulan tersebut juga melibatkan penanganan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik guna memastikan stabilitas dan persatuan bangsa. Investasi strategis dalam pengembangan kapasitas dan infrastruktur di daerah yang sudah mapan dapat menghasilkan manfaat nyata yang bergema lebih luas di seluruh negeri. Sangat penting untuk melihat otonomi daerah bukan sebagai tujuan yang terisolasi tetapi sebagai sarana untuk memajukan kemajuan nasional secara keseluruhan. Pendekatan yang seimbang, yang mengintegrasikan pengejaran otonomi dengan penguatan kerangka tata kelola yang menyeluruh, dapat mendorong pembangunan yang harmonis dan persatuan, yang pada akhirnya menguntungkan seluruh negara sambil menghormati identitas daerahnya yang beragam.
Otonomi daerah berfungsi sebagai mekanisme penting untuk memperkuat tata kelola pemerintahan daerah dengan memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan, mendorong solusi inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tertentu, dan mendorong partisipasi aktif masyarakat. Elemen-elemen ini secara kolektif berkontribusi pada peningkatan penyediaan layanan publik, memastikan bahwa layanan lebih responsif dan efisien. Selain itu, otonomi daerah dapat merangsang pembangunan ekonomi daerah dengan memberdayakan daerah untuk melaksanakan kebijakan yang tepat sasaran. Otonomi daerah juga memfasilitasi alokasi dan pemanfaatan sumber daya yang optimal, yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Yang terpenting, desentralisasi tersebut memperkuat keamanan dan stabilitas nasional dengan mengakomodasi konteks sosial ekonomi yang beragam dan mengurangi perluasan kewenangan pemerintah pusat, sehingga mendorong upaya pembangunan bangsa yang kohesif dan tangguh.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Sejak dimulainya era reformasi 1998, Indonesia telah memulai proses desentralisasi komprehensif yang bertujuan untuk mendorong otonomi daerah yang lebih besar dan mempromosikan pembangunan yang seimbang di seluruh nusantara. Inisiatif strategis ini melibatkan perluasan struktur pemerintahan daerah, termasuk pembentukan banyak daerah otonom baru seperti kabupaten, kota, dan provinsi. Upaya ini dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan layanan publik, menangani kebutuhan lokal secara lebih efektif, dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Perjalanan desentralisasi telah dipengaruhi oleh kombinasi aspirasi politik, pertimbangan ekonomi, dinamika sosial, dan keragaman budaya, yang semuanya telah berkontribusi pada upaya berkelanjutan Indonesia untuk membangun negara yang lebih inklusif dan tangguh. Secara keseluruhan, proses ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dan memperkuat pemerintahan daerah di semua tingkatan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan kerangka kerja otonomi asimetris yang disusun dengan cermat, yang mencerminkan komitmen Indonesia untuk mengakui dan menghormati keragaman geografis dan sosial budayanya yang luas. Undang-undang ini secara strategis memberikan kewenangan otonomi yang luas kepada daerah, yang dirancang khusus sesuai dengan karakteristik, keadaan ekonomi, dan kebutuhan masyarakatnya yang unik. Dengan demikian, undang-undang ini bertujuan untuk mendorong tata kelola yang lebih efektif dan responsif di tingkat daerah, sehingga memungkinkan pemerintah daerah untuk mengatasi tantangan unik dengan kelincahan dan kepekaan budaya yang lebih besar.
Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya menyeimbangkan persatuan nasional dengan kekhususan daerah, memastikan bahwa kekhasan masing-masing daerah diakui dan diakomodasi dalam kerangka nasional yang lebih luas. Otonomi yang disesuaikan tersebut tidak hanya mendorong pembangunan dan kemandirian daerah, tetapi juga meningkatkan kohesi sosial dengan menghormati identitas dan tradisi yang beragam. Selain itu, undang-undang ini berfungsi sebagai mekanisme penting untuk menjaga stabilitas nasional, karena daerah diberdayakan untuk mengelola urusan mereka sesuai dengan konteksnya yang unik, sehingga mengurangi potensi keluhan dan menumbuhkan rasa inklusi dan partisipasi.
Undang-Undan Nomor 23 Tahun 2014 pada hakikatnya merupakan contoh pendekatan Indonesia yang bernuansa terhadap desentralisasi—pendekatan yang berupaya menyelaraskan keberagaman bangsa melalui tata kelola yang fleksibel dan peka terhadap konteks, yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan stabilitas nasional di tengah keragaman yang mendalam.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sendiri tidak bersifat statis. Undang-undang ini telah mengalami beberapa perubahan dan pencabutan sebagian pasal oleh undang-undang lain, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Evolusi legislasi yang berkelanjutan ini menunjukkan bahwa kerangka hukum yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah proses yang dinamis. Perubahan dan penggantian undang-undang ini mencerminkan proses adaptasi yang berkelanjutan, pembelajaran dari tantangan implementasi, dan penyempurnaan model desentralisasi. Hal ini mengindikasikan komitmen para pembuat kebijakan untuk terus mengoptimalkan keseimbangan kekuasaan, tanggung jawab, dan pengaturan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, daripada berpegang pada sistem yang kaku dan tidak berubah.
Euforia Daerah Otonomi Baru
Aspirasi untuk mendirikan daerah otonom baru sering kali didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan, memastikan pemerataan pembangunan, dan menghargai identitas budaya yang beragam. Ambisi tersebut mencerminkan komitmen terpuji untuk memenuhi kebutuhan daerah dan mendorong inklusivitas. Namun, perspektif yang bijaksana dan strategis menekankan pentingnya mengonsolidasikan dan meningkatkan struktur tata kelola daerah yang ada. Dengan demikian, kita dapat memanfaatkan sistem saat ini secara lebih efektif, memastikan bahwa sumber daya dialokasikan secara efisien dan bahwa inisiatif pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Sejak 2014, pemerintah pusat telah memberlakukan moratorium pemekaran daerah, terutama untuk mengatasi kendala anggaran dan memprioritaskan upaya konsolidasi nasional. Meskipun langkah ini penting untuk menjaga stabilitas fiskal, langkah ini juga menghadapi berbagai tekanan publik dan politik, terutama di daerah seperti Papua. Pemerintah tetap berkomitmen untuk menyeimbangkan pengawasan yang bijaksana dengan kebutuhan untuk mengatasi aspirasi dan masalah daerah melalui dialog dan perencanaan strategis yang berkelanjutan. Sebagai contoh, pada tahun 2022, muncul antusiasme publik yang meluas terkait dengan rencana pemekaran Papua yang meliputi wilayah Tengah, Pegunungan, dan Selatan. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang signifikan, yang mencerminkan harapan untuk peningkatan pembangunan daerah, peningkatan peluang, dan penguatan persatuan nasional di antara komunitas yang beragam dan dinamis ini.
Pada intinya, gelombang dukungan ini mencerminkan keyakinan yang mendalam pada kekuatan solidaritas dan upaya kolektif. Warga termotivasi oleh keyakinan bahwa, melalui persatuan dan tujuan bersama, mereka dapat memengaruhi kebijakan yang secara langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Pembentukan zona otonom ini dianggap sebagai peluang untuk menumbuhkan kohesi sosial, memberdayakan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, dan menumbuhkan rasa kepemilikan atas proyek-proyek pembangunan lokal. Aspirasi ini sangat menggema di benak anggota masyarakat yang melihat daerah sebagai sarana untuk menyelaraskan tata kelola dengan kebutuhan, nilai, dan prioritas unik mereka.
Namun, penting untuk mengakui bahwa antusiasme yang meluas seperti itu juga mengandung risiko yang melekat. Secara historis, gerakan yang didorong oleh harapan yang tinggi terkadang dapat menyebabkan kekecewaan jika janji tidak terpenuhi atau jika proses implementasi terhambat oleh inefisiensi birokrasi. Ada juga kekhawatiran bahwa elit politik atau kepentingan tertentu dapat memanfaatkan momentum ini untuk keuntungan mereka sendiri, yang berpotensi mengalihkan sumber daya atau pengaruh dari manfaat masyarakat yang sebenarnya. Skenario seperti itu mengancam untuk melemahkan legitimasi daerah otonom dan dapat memperdalam kesenjangan yang ada atau menimbulkan ketegangan sosial.
Dengan mempertimbangkan hal ini, menjadi penting untuk mendekati pengembangan daerah ini dengan pola pikir yang hati-hati dan strategis. Perencanaan yang matang, yang didasarkan pada transparansi dan akuntabilitas, sangat penting untuk memastikan bahwa tujuan kemajuan sosial, ekonomi, dan politik dapat dicapai secara realistis. Hal ini memerlukan penetapan kerangka kerja yang jelas untuk alokasi sumber daya, struktur tata kelola yang mempromosikan inklusivitas, dan mekanisme untuk keterlibatan masyarakat yang berkelanjutan. Selain itu, mendorong proses pengambilan keputusan partisipatif akan membantu melindungi dari penguasaan elit dan memastikan bahwa berbagai suara dalam masyarakat didengar dan dihargai.
Selain itu, partisipasi inklusif harus diprioritaskan untuk membangun konsensus yang luas dan dukungan berkelanjutan bagi daerah otonom. Melibatkan pemangku kepentingan lokal—seperti pemimpin masyarakat, kelompok terpinggirkan, organisasi masyarakat sipil, dan warga biasa—dalam tahap perencanaan dan implementasi akan menumbuhkan rasa kepemilikan bersama. Keterlibatan tersebut tidak hanya meningkatkan legitimasi inisiatif tetapi juga memastikan bahwa kebijakan lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi aktual masyarakat yang dilayaninya.
Sebagai kesimpulan, meskipun kegembiraan kolektif seputar pembentukan DOB mencerminkan keinginan terpuji untuk perubahan positif, penting untuk melanjutkan dengan pendekatan yang seimbang. Dengan menggabungkan perencanaan yang cermat dengan partisipasi yang luas dan inklusif, para pemangku kepentingan dapat memaksimalkan potensi manfaat dari daerah otonom baru ini sambil meminimalkan risiko ekspektasi yang tidak terpenuhi dan eksploitasi. Melalui upaya yang disengaja tersebut, adalah mungkin untuk mengubah harapan menjadi perbaikan yang nyata dan langgeng yang benar-benar melayani kepentingan semua anggota masyarakat.