
Oleh: Petrus Polyando, 21/02/2023
Akhir-akhir ini media massa (cetak maupun elektronik) serta media sosial diramaikan dengan diskusi hangat soal profesor. Ini terkait dengan adanya penolakan pemberian guru besar kehormatan oleh sejumlah dosen di UGM. Akibat keberanian sikap para dosen ini, muncul beragam tanggapan publik bahkan tidak hanya soal isu tersebut namun menyasar pada isu lainnya. Banyak narasi di ruang publik yang mendukung sikap para dosen tersebut dan sepakat menolak praktik pengangkatan, pemberian atau pengukuhan guru besar di luar proses akademik yang semestinya. Beberapa kalangan menyuarakan lewat artikel ilmiah sebagai bentuk gugatan maupun koreksi atas fakta sosial tersebut. Hamid Awaludin dalam artikel Ingin Menjadi Profesor yang diterbitkan dalam https: // www. kompas.id pada tanggal 17/2/2023 meringkas perguruan tinggi kini seolah tidak lagi menjadi benteng pertahanan kebenaran dan kejujuran. Mengapa para dosen harus menjadi profesor kendati harus dengan cara-cara licik dan tidak bermoral? Jawabannya masalah insentif. Sebelumya juga ada Yonvitner dalam media yang sama pada tanggal 14/2/2023 menulis soal Kesahihan Sains yang menyoroti bahwa dalam perjokian karya ilmiah, yang sebenarnya terjadi adalah hilangnya standar sains yang layak, bermoral, dan ukuran ”output” yang berbeda. Kesahihan sains jadi ukuran dari kelayakan dan moralitas tersebut. Tentu masih banyak narasi lain yang dikemas oleh para praktisi maupun ilmuwan sebagai kepedulian terhadap dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan tinggi.
Sebenarnya kasus ini hanyalah salah satu potret carut-marut pendidikan kita yang telah lama dipersoalkan kalangan pemerhati pendidikan dalam berbagai perspektif. Banyak kasus lain yang menggambarkan gelapnya dunia pendidikan kita seperti praktik korupsi dan suap penerimaan mahasiswa baru, kasus kekerasan, dunia pendidikan yang tidak sesuai dunia kerja, mutu pendidikan yang rendah, kurangnya prasarana dan sarana pendidikan, terpaparnya paham radikalisme di dunia kampus, pungutan liar, dan lain sebagainya. Kesemuanya memberikan petunjuk bahwa dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja dan perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Kembali soal isu utama pemberian gelar profesor dan atau profesor kehormatan. Publik lebih kritis membicarakan mengenai prosedur perolehannya dan kelayakan bagi orang yang memperolehnya. Dua artikel di atas sebenarnya mewakili itu, dan memberikan catatan bahwa ada fakta prosedur yang ironis dan ada profil orang yang dalam tanda kutip diragukan kelayakannya. Bahkan oleh Muhadam (2022) dalam suatu artikel singkatnya Jabatan Profesor, Untuk Apa?, mempertegas ada semacam politisasi jabatan fungsional yang memang telah berlangsung sejak para eksekutif masuk ke ranah perguruan tinggi. Fenomena ini juga dikisahkan Sholikh Al Huda dalam https: // ibtimes. id (21/2/2023) yang mengetengahkan Dilema Guru Besar: Profesor Lobian VS Profesor Ilmu. Diceritakan ada dua model profesor yang dihasilkan dari dua cara yang berbeda yakni cara prosedur dan gangster.
Peristiwa ini terus-menerus terjadi sehingga Publik menyimpulkan inilah faktor penyebab kualitas pendidikan kita belum berada pada level atas. Barangkali penilaian tersebut ada hubungannya dengan minimnya karya ilmiah spektakuler yang lahir dari para profesor. Sebagaimana mengutip hasil evaluasi Kemenristek-Dikti pada beberapa tahun silam yang dipublikasi pada februari-maret 2018 oleh berbagai media online seperti tempo, media indonesia, kompas, tribun, dll, bahwa tercatat dari 5.366 profesor yang ada, ternyata hanya 1.551 orang yang memenuhi syarat publikasi. Ini berarti banyak profesor yang secara administratif memenuhi syarat namun secara kekaryaan ilmiah, paten, maupun karya seni atau desain monumental masih memprihatinkan.
Fakta tersebut menimbulkan beragam asumsi terhadap keberadaan para profesor. Publik semakin yakin bahwa ada proses yang kurang patut dilakukan dengan raihan gelar tersebut. Karena itu ada banyak orang dianggap tidak layak mendapatkan gelar mulia ini. Dan bisa jadi karena mewabahnya praktik tidak layak dan tidak patut ini membuat banyak orang nir-kompeten berambisi menyandangnya, kendati harus dengan cara-cara licik dan tidak bermoral sebagaimana disitir Hamid Awaludin (17/2/2023) maupun Sholikh Al Huda (21/2/2023). Tentu penilaian publik sulit dihindari meskipun tidak boleh digeneralisasi, mengingat fakta ada juga profesor yang sangat produktif, dan harus diapresiasi khusus atas karyanya yang telah memberikan kontribusi bagi peradaban umat manusia dan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Profesor Itu Profesi
Lalu siapakah profesor itu, di mana posisi idealnya? Kalau merujuk pada UU Guru dan Dosen (UU No.14/2005) profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Dengan jabatan tersebut memiliki kewajiban khusus menulis buku, menghasilkan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Sederhananya profesor itu adanya di kampus oleh seorang dosen dengan tanggungjawab sebagaimana yang dilekatkan kepadanya. Secara leksikal profesor itu ada hubungannya dengan profesi sebagaimana diuraikan oleh Rm. A. Setyo Wibowo seorang guru filsafat (13/2/2023), bahwa kata profesor itu berasal dari bahasa latin dari kata pro (in front of) dan fateor (aknowledge). Diartikan sebagai orang yang mengaku, atau membuat pernyataan terbuka, atas perasaan atau pendapatnya. Lengkapnya sebagai sebuah komunitas orang yang terikat oleh aktivitas yang mereka lakukan, berkomitmen pada standar etika, dan bertumpu pada pengetahuan teoretis umum yang diperoleh melalui pendidikan formal. Pemahaman ini tentu menyadarkan kita bahwa profesor itu adalah sebuah profesi yang mengandung komitmen, atau ikrar, atau janji, atau loyalitas serta dedikasinya terhadap suatu nilai yang diyakini sebagai pilihannya.
Sebagai sebuah profesi maka tentu memiliki kriteria yang harus dipenuhi. Dalam materi ajarnya Rm. A. Setyo Wibowo (13/2/2023) yang mengutip dari Kurana, Nohria, Penrice Harvard Bussines Scholl (2005) memaparkan ada empat kriteria profesi yakni: (1). Kumpulan pengetahuan umum bertumpu pada landasan teori yang dikembangkan dengan baik diterima secara luas. (2). Sistem sertifikasi terhadap individu yang memiliki pengetahuan tersebut sebelum dilisensikan atau sebaliknya diizinkan untuk berpraktik; (3). komitmen untuk menggunakan pengetahuan khusus untuk kebaikan publik, penolakan tujuan maksimalisasi keuntungan dengan imbalan profesional & kekuatan monopoli; (4). Kode etik, sebagai ketentuan untuk memantau kepatuhan individu dan sistem sanksi untuk menegakkannya. Jelas profesor memenuhi keempat kriteria tersebut sehingga diletakan sebagai profesi.
Berbagai fakta kontradiktif yang disajikan sebelumnya, menunjukan pergeseran pandangan terhadap profesor, bukan lagi sebagai sebuah profesi tapi sebagai pelengkap status. Banyak persepsi keliru yang berujung pada perjuangan meraih gelar ini melalui berbagai cara tak bermoral. Sebagai tujuan hidup, orang berjuang meraih profesor untuk mengukuhkan kedudukan, memperpanjang usia pensiun atau melipatgandakan tunjangan/remunerasinya. Tentu ini merupakan realitas kekinian yang dapat dinilai dari tingkat orientasi kebahagiaannya. Penilaiannya dapat mengadopsi skala kebaikan menurut Platon (lysis) yang diletakan dalam tiga tingkatan yakni Ephitumia, Tumos dan Logisticon (A.Setyo Wibowo, 2023). Bila dijelaskan tiga tingkat kebaikan tersebut menjadi level orientasi kebahagiaan yang diraih para profesor sebagaimana analisis Platon, maka kita dapat menilai seorang profesor dari kategorinya.
Pertama, orientasi kebahagiaan pada tingkat epithumia. Pada level ini orang berharap meraih profesor agar dapat menambah tunjangan/ remunerasi, menambah masa pensiun, memperpanjang masa kekuasan dalam jabatan dan fasilitas lainnya. Ini sebenarnya level paling rendah yang berlaku bagi orientasi kelas pekerja. Mengingat orientasinya pada materi yakni makan, minum, seks, uang, dan fasilitas fisik lainnya. Biasanya cara yang dilakukan pun mengabaikan nilai moral akademik.
Pada level kedua, meningkat pada orientasi kebahagiaan pada tingkat thumos yaitu harga diri/ bangga diri. Seorang berjuang meraih profesor karena buah karya tangannya atau buah pikirannya, yang dilalui melalui proses demi proses sampai pada pencapaian gelar tersebut. Bahwa seorang meraih profesor karena bangga atas profesinya tersebut yang diraih melalui perjuangan dalam kaidah dan prosedur ilmiah. Dan karena ada kebanggaan dalam dirinya maka setelah meraih profesor biasanya akan banyak karya ilmiah monumental.
Selanjutnya pada level ketiga atau level tertinggi orientasi kebahagiaan seorang profesor berkenaan dengan logisticon. Pada tahap ini meletakan kebahagiaan pada rasional yang hanya bisa direngkuh lewat rasio sebagai bagian tertinggi jiwa manusia. Penegasannya soal rasa di mana orang ingin mengabdikan diri untuk kebaikan, keindahan dan kebenaran melalui profesinya. Seseorang akan memuliakan profesornya sebagai panggilan jiwa untuk menyelesaikan persoalan sosial, melestarikan peradaban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada level ini, mereka berani memilih nilai kebahagiaan yang berbeda meski banyak kesusahan dan kesengsaraan. Nilai kebahagiaan mereka tidak lagi diletakan pada uang, fasilitas dan harga diri, tapi manfaat nyata bagi banyak orang. Pengorbanan mereka tidak lagi dikalkulasi dengan nilai materi semata.
Dengan demikian, barangkali banyaknya profesor minim karya ilmiah monumental karena lebih banyak dihuni kaum yang level komitmennya berorientasi dasar (epithumia). Sehingga mereka hanya menambah jumlah kelompok profesor namun tidak menambah derajat kemuliaan tertinggi profesor. Perilaku ini membuat miris dunia pendidikan terutama kalangan jujur dengan nurani panggilan jiwa sebagai guru atau maha guru. Bila profesor itu sebuah profesi maka tidak semua orang harus meraihnya.
Salah kaprah selama ini memandang profesor itu sebagai sarana memudahkan pencapaian diri pribadi, gengsi sosial, guna mendapatkan posisi tertentu di masyarakat. Kebiasaan ini kemudian memaksa terjadi perlombaan meraih gelar Doktor untuk menggapai Profesor meski dengan cara tidak terhormat atau bahkan menurunkan standar kualitas. Kalau ditelusuri dengan seksama, ada pelibatan banyak pihak melalui kolaborasi dalam ruang gelap dan tertutup. Seolah dalam ruang pasar berlaku hukum penawaran dan permintaan (supply and demand). Akibatnya banyak proses diabaikan agar seseorang meraih profesor. Kemudian dengan gelar profesornya digunakan sebagai sebagai daya dorong atau daya ungkit untuk meraih jabatan tertentu meski sebenarnya tidak kompeten menempatinya.
Semestinya semua orang sadar dan konsisten mengakui profesor itu sebagai panggilan jiwa dengan derajat kemuliaan dalam level kebahagiaan tertinggi. Untuk menjadikan profesor sebagai keutamaan dalam dunia pendidikan maka sepatutnya meningkatkan orientasi kebahagiaan pada level thumos dan logisticon. Ini diyakini akan memperbesar komitmen orang terhadap profesinya sehingga bermanfaat bagi kemasalahatan banyak orang, dan bagi lingkungan alam sekitarnya. Jadi profesor bukanlah soal gelar semata tapi soal komitmen profesi yang merupakan panggilan jiwa untuk memberikan makna bagi kehidupan melalui karya yang bernas. Semoga.