
Oleh: Dr. Timed Magayang, S.IP., M.Si.
Papua merupakan wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun tetap menyandang status sebagai provinsi termiskin di Indonesia. Pemekaran wilayah menjadi enam provinsi disebut-sebut sebagai strategi percepatan pembangunan. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa pemekaran tersebut belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat asli Papua, Artikel ini bertujuan untuk mengkritisi pola pemiskinan struktural di Papua serta menyoroti ketimpangan antara potensi kekayaan alam dan kesejahteraan masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Papua, tanah di ujung timur Indonesia, dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan sumber dayanya. Di balik tambang emas Grasberg yang dikelola PT. Freeport Indonesia, dan cadangan nikel serta kayu yang melimpah, Papua justru dicatat sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Ketimpangan ini bukan sekadar angka, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam distribusi keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat asli Papua., 2. Papua Kaya Sumber Daya dan Miskin Manusia, Papua menyumbang triliunan rupiah ke kas negara melalui sektor pertambangan dan kehutanan.
Namun, sebagian besar masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan absolut. Akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih sangat terbatas, terutama di wilayah pedalaman. Infrastruktur tidak merata dan sumber daya manusia asli Papua belum mendapat prioritas pembangunan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka kemiskinan Papua mencapai lebih dari 20%, jauh di atas rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan adanya pemiskinan struktural yang tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga politis dan kultural., 3. Pemekaran Wilayah: Solusi Semu untuk Masalah Struktural, Pemekaran provinsi di Papua menjadi enam wilayah administratif dilakukan dengan dalih percepatan pelayanan publik dan pembangunan. Namun, implementasi pemekaran ini lebih banyak menguntungkan elit politik dan investor luar daripada masyarakat lokal.
Aparatur dari luar daerah lebih banyak mengisi jabatan struktural, sementara rakyat Papua tetap menjadi penonton di tanah sendiri.
Dalam perspektif teori pembangunan, pemekaran semestinya memberikan distribusi kekuasaan dan sumber daya yang lebih adil. Namun di Papua, pemekaran justru menambah birokrasi tanpa memperkuat kapasitas lokal. Pemekaran cenderung menjadi instrumen kontrol pusat ketimbang strategi pemberdayaan., 4. Eksploitasi dan Marjinalisasi Orang Papua, Proyek pembangunan nasional di Papua seringkali dibarengi dengan eksklusi sosial masyarakat adat. Investasi besar masuk tanpa konsultasi yang bermakna, dan tanah adat dikuasai melalui regulasi yang merugikan komunitas lokal.
Bahkan, dalam banyak kasus, orang Papua menjadi minoritas di wilayah urban akibat migrasi besar-besaran dari luar Papua. Secara sosiologis, ini menciptakan apa yang disebut sebagai internal colonization, ketika rakyat pribumi menjadi kelompok marjinal di tanah mereka sendiri. Ironisnya, negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai fasilitator eksploitasi., 5. Mendorong Keadilan Pembangunan di Papua, Papua tidak miskin, tetapi dimiskinkan. Masalah Papua bukan sekadar kurang pembangunan, tetapi kurang keberpihakan. Tanpa perubahan paradigma dari eksploitatif menjadi partisipatif, Papua akan terus menjadi ladang kekayaan nasional yang tidak menyentuh kehidupan rakyatnya sendiri. Diperlukan pendekatan pembangunan yang berbasis pada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, desentralisasi sejati, serta penguatan kapasitas lokal. Keadilan di Papua tidak datang dari jumlah provinsi, tetapi dari keberpihakan moral dan politik yang nyata.