
Andi Muhammad Jufri -Tenaga Ahli Wamen KPPPA /Tim Pemberdayaan Kegiatan Sinergisitas Antar KL – BNPT Tahun 2018-2024
Kebisingan dan ketegangan melanda ruang interaksi kita. Dari motor ber-knalpot suara tinggi (knalpot racing atau knalpot aftermarket) sampai nyanyian musik ber “sound horeg”dijalanan. Dari suara bernada tinggi di ruang publik sampai masuk di ruang privat melalui media sosial.
Kebisingan dan ketegangan semakin terasakan bila latar lagi tak menguntungkan. Mulai dari Kantong kempes “tidak punya uang”, perut keroncongan atau “borborygmi” (lapar), sampai derita penyakit tempramental (gampang emosi dan marah).
Kebisingan dan ketegangan juga semakin bertambah bila lingkungan ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan ikut mengalami ketegangan. Akses pemenuhan dan layanan kebutuhan sandang, pangan, dan papan bila tak terpenuhi, akan terjadi aksi instan dengan melanggar hak orang lain, bahkan mengarah kepada kekerasan verbal dan fisik.
Betapa banyak terjadi kekerasan verbal dan fisik, sampai pada tingkat menghilangkan nyawa mulai dari level keluarga inti (anak vs ayah/ibu, kakak vs adik, istri vs suami), di lingkungan kerja kantoran sampai di lapangan (nelayan, petani, sopir, pedagang dan lain-lainnya), sampai pada konflik antar kelompok (konflik sumber daya, konflik antar kampung, konflik lokasi penangkapan ikan bagi nelayan, konflik lahan pertanian dan perkebunan, konflik tanah adat, dan berbagai konflik lainnya)
Di level negara, kebijakan yang tidak tepat sasaran, program yang elitis dan ketidakadilan yang terasakan masyarakat, akan membuat kebisingan dan ketegangan semakin meluas. Fenomena bendera bajak laut “Jolly Roger” dari serial “One Piece” yang dikibarkan oleh sejumlah remaja dan mahasiswa dari berbagai kampus dan ruang publik di Indonesia, adalah mungkin salah satu indikator adanya kebisingan dan ketegangan yang dirasakan.
Kebisingan dan ketegangan yang berlapis dengan berbagai kontradiksi, akan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan kebencian (hatred), serta kekerasan lisan (verbal) dan fisik (physical), yang menghasilkan konflik. Konflik akan meningkatkan dan menyebarkan kebencian dan kekerasan. Fase ini disebut fase “meta -conflict” atau fase spiral kebencian dan kekerasan (spiral of hatred and violence).
Dalam konteks mencegah terjadinya spiral kebencian dan kekerasan, pendekatan struktural dan pendekatan interaksional perlu dilakukan. Kebijakan Pemerintahan Prabowo -Gibran yang memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan Amnesti kepada Hasto, contoh kebijakan yang “me-ramah-kan” kebisingan dan ketegangan politik nasional. Program Deradikalisasi dan Kontraradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dengan bersinergi berbagai Kementerian/Lembaga pada Pemerintahan Jokowi -JK dan Jokowi -Maruf Amin, RAN PE Tahap Pertama Era Jokowi -Maruf Amin dan RAN PE Tahap Kedua yang sedang menunggu Pepres di Tahun 2025 ini, merupakan contoh pendekatan “Soft Approach” (kesejahteraan) yang telah me-ramah-kan kekerasan yang mengarah kepada radikal terorisme di Indonesia.
Pendekatan kesejahteraan (soft approach) perlu dikedepankan diatas pendekatan hukum. Program ketahanan pangan masyarakat melalui pengembangan pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan perlu dimasifkan. Program makan bergizi gratis perlu diteruskan dengan mendorong partisipasi dan sinergi dengan petani, pekebun, nelayan, dan peternak secara langsung. Bila ini dilakukan, anak-anak kita akan sehat dan orang tua mereka akan sejahtera.
Peran Koperasi Merah Putih dalam mendinamisasi berbagai program pemerintah dan kebutuhan masyarakat juga kini ditunggu. Modal atau anggaran perlu dimudahkan dengan tetap menjaga akuntabilitas, transpransi dan tata kelola yang baik. Koperasi Merah Putih diharapkan menjadi solusi me-ramah-kan kebisingan dan ketegangan yang terjadi ketika terjadi kelangkaan pasokan kebutuhan sehari -hari masyarakat, seperti sembako (beras, minyak goreng), gas dan bahan bakar minyak/BBM, dan lain-lain.
Koperasi Merah Putih juga ditunggu peran strategisnya dalam me-ramah-kan kebisingan dan ketegangan akibat “pinjaman online yang berbunga tinggi” dan juga “Bank Keliling” atau juga “rentenir” yang telah menjerat masyarakat kecil. Pinjaman dana yang cicilannya diatur sesuai kemampuan masyarakat gaya “grameen bank” di India dan kini juga mulai dikembangkan di Indonesia perlu diadopsi dengan modifikasi yang lebih baik.
Koperasi Merah Putih juga perlu merangkul dan bekerjasama dengan koperasi yang sudah dibentuk sebelumnya. Bentuk kolaborasi antar koperasi dan koperasi merah putih di wilayah desa/kelurahan adalah juga bentuk me-ramah-kan kebisingan dan ketegangan antar pengurus dan lembaga koperasi diribuan kelurahan/desa di Indonesia.
Program hilirisasi berbagai produk dalam negeri yang meningkatkan nilai tambah komoditas melalui pengolahan bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi, dan dengan dukungan industriisasi akan membuka lapangan kerja. Ini akan me-ramah-kan kebisingan dan ketegangan bagi pencari kerja / pengangguran yang berjumlaah 7,28 juta berdasarkan data BPS bulan Februari 2025.
Program struktural diatas, perlu didukung pendekatan Interaksional. Pendekatan yang membangun hubungan humanis di masyarakat. Penghargaan terhadap kearifan lokal dalam membangun bangsa adalah prasyarat “me-ramah-kan” kebisingan dan ketegangan konflik sumber daya dan konflik tanah adat.
Pendekatan partisipatif yang melibatkan semua pihak dengan prinsip “No One Left Behind” (tidak ada yang tertinggal) akan me-ramah-kan kebisingan dan ketegangan yang muncul oleh mereka yang terpinggirkan, minoritas, tak terperhatikan, terlemahkan, tak didengar, dan merasa tak mendapatkan akses sumberdaya.
Diatas itu semua, kita semua perlu menciptakan ruang-ruang interaksi yang me-ramah-kan lingkungan kita. Menjadi benteng dari proses terjadinya spiral kebencian dan kekerasan. Mulai dari level keluarga dan lingkungan sosial di masyarakat, lingkungan kerja, lingkungan publik dan tentu saja di media online (media sosial).
Ruang yang ramah memerlukan keramahan dalam tiga hal yaitu ramah fisik, ramah sumber daya manusia, dan ramah kegiatan/program. Ruang yang ramah perlu kebersamaan dan kegotongroyongan untuk membangunnya. Kegotongroyongan adalah budaya khas kita, bangsa ini. Ruang bersama Indonesia yang berbasis desa/kelurahan kini sedang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungaan Anak (KPPPA). Sebuah ruang yang ramah, ramah bagi kelompok rentan, anak-anak, perempuan, lansia, disabilitas, dan seluruh lapisan umur dengan berbagai latar “Bhinneka”. Semoga RBI- Ruang Bersama Indonesia, dapat menjadi “prime mover” (salah satu penggerak utama) mencegah terjadinya spiral kebencian dan kekerasan dan menjadi wadah mendidik anak bangsa yang ramah, harmoni, bersatu, sejahtera dan maju menuju Indonesia Emas 2045. Aamiin