
Jakarta, aspirasipublik.com – SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu kelurahan terutama di wilayah DKI Jakarta lebih memiliki fungsi kepada pelayanan sehingga muncul anggapan bahwa kelurahan adalah ujung tombak pelayanan, mengingat setiap masyarakat yang ingin melakukan pengurusan terkait surat – menyurat biasanya langsung ke kelurahan.
Menurut informasi yang ada bahwa asal muasal terkait informasi seseorang ada di kelurahan, dari sanalah lurah atau sering disebut juga sebagai pamong akan memberikan pelayanan penerbitan beberapa surat-menyurat yang berhubungan dengan masyarakat.
Berbeda dengan kelurahan yang ada di daerah lain yang ada di Indonesia, kelurahan di wilayah DKI Jakarta memiliki anggaran tersendiri guna menutupi kebutuhan operasional kelurahan itu sendiri maupun kegiatan yang menyangkut masyarakat, setiap tahunnya pemerintah provinsi DKI Jakarta menggelontorkan sampai puluhan milyar rupiah untuk anggaran kelurahan.
Seperti yang terjadi di kelurahan kramat, kecamatan senen, kota administrasi Jakarta pusat, tahun 2018 mendapatkan anggaran pembelajaan mencapat sembilan milyar rupiah.

Ternyata besarnya anggaran yang ada di kelurahan kramat, kecamatan senen, Jakarta pusat membuat lurah Suparjo lebih memperhatikan kegiatan-kegiatan yang ada pada kelurahan tersebut, sehingga menurut informasi yang ada ia juga memanggil para rekanan dengan menjanjikan kegiatan namun sebelum kegiatan tersebut dikerjakan para pengusaha sudah harus menyetorkan sejumlah uang sebagai sogokan, hal ini tampak terlihat pada penggalan video yang beredar dikalangan pengusaha di bilangan Jakarta pusat.
Dimana pada vidio berdurasi tiga menit tersebut suparjo menerima sejumlah uang yang lansung diserahkan padanya dan pada vidio tersebut ada kata-kata “tolong di bantu ya pak lurah” beres, demikian ucapan yang ada pada rekaman vidio tersebut.
Ketika hal ini dicoba dikonfirmasi kepada lurah parjo melalui whatsup aplikasinya beberapa waktu lalu, konfirmasi tersebut telah dilihat namun seakan tidak di gubris, dan ketika awak media mencoba menelpon langsung, muncul kata-kata yang mengatakan “siapa sih ini. Telpon-telpon mulu”.
Ada yang aneh dengan lurah yang satu ini, meski telah menerima pendapatan yang cukup besar serta fasilitas yang cukup memadai namun masih tetap berprilaku kurang baik, artinya masih memanfaatkan jabatan guna mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BPKD) DKI Jakarta Agus Suradika menjelaskan bagaimana seorang lurah bisa mendapatkan gaji Rp 33 juta per bulannya. Jumlah tersebut merupakan kalkulasi dari TKD Statis sebesar Rp 13 juta ditambah TKD Dinamis Rp 13 Juta, ditambah penganti uang transport karena tidak diberikan mobil dinas sebesar Rp 4 juta, dan gaji pokok PNS Rp 3 juta.
TKD dinamis dihitung berdasarkan poin yang didapatkan PNS, semakin tinggi jabatannya maka poin yang bisa diperoleh semaking banyak. Sehingga jumlah TKD dinamis setiap tingkatan jabatan batas maksimalnya berbeda-beda.
Informasi lainnya yang tidak kalah menarik adalah terkait adanya usaha yang dilakukan lurah suparjo memindahkan atap bekas kelurahan (kleurahan kramat) yang beberapa waktu lalu sedang direhap ke rumah kediamannya, namun setelah informasi ini beredar buru-buru ia memindahkannya kembali ke kelurahan.
Menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut bahwa gratifikasi merupakan segala bentuk pemberian yang dalam beberapa bentuk antara lain uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diteria di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Semua bentuk pemberian tersebut dari masyarakat ke pejabat, penegak hukum, atau penyelenggara negara dengan motif tertentu guna memperoleh keuntungan pribadi.
Dimana menurut para ahli terkait budaya suap-menyuap terdapat 5 kriteria, antara lain: 1. Sudah Tradisi (Suap dan korupsi bukanlah nilai-nilai yang diajarkan oleh nenek moyang kita. Tapi suap seakan sudah mendarah daging dan jadi tradisi terutama bagi kelompok orang-orang berduit. Jika menengok dari sejarah, budaya suap dan korupsi sudah sering ditemui sejak zaman kolonialisme dulu. Para penjajah menyuap pejabat-pejabat pribumi untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Kebiasaan buruk itu ternyata ditiru. Parahnya, malah keterusan hingga saat ini.) 2. Haus Kejayaan (Manusia bisa saja silau dengan kejayaan mulai dari kekayaan, keuasaan bahkan juga jabatan. Demi mendapatkannya orang-orang rela melakuan apa saja bahkan menempuh jalan “belakang” jika perlu. Yaitu dengan memberikan sesuatu bisa berupa uang atau benda-benda lain agar niatnya dapat dilaksanakan. Hal paling sepele dan sering kita temui adalah praktik suap yang dilakukan olah para pelanggar lalu lintas pada polisi yang menangkapnya agar kasusnya tak sampai jatuh ke meja pengadilan.) 3. Lingkungan Yang Mendukung (Bukan sebuah rahasia lagi jika praktik suap mulai dari institusi kecil sampai ke kalangan pejabat-pejabat tinggi negara adalah sebuah jaringan yang terorganisir. Lingkungan yang paling rentan terhdap kasus suap adalah pengadilan, tentu saja yang menjadi target suap adalah para hakim. Terkadang jika terdakwa tidak ada inisiatif untuk memberikan suap, justru oknum-oknum hakim yang tidak “bersih” malah menawari si terdakwa. Bahkan tak jarang ada terdakwa yang justru takut hukumannya akan tambah berat jika tidak menerima tawaran tersebut.) 4. Hukum Yang Bisa Dibeli (Lalu bagaimana dengan oknum-oknum yang ditangkap dan terbukti melakukan suap? Sudah pasti mereka akan diadili. Tapi sekali lagi, hukum di Indonesia adalah hukum yang bisa dibeli dengan uang. Bukan berarti hukumnya yang salah, tapi oknum-oknum penegaknya yang membuat hukum jadi tak mempan bagi orang-orang yang berduit. Dengan menyuap para hakim atau bahkan para penjaga penjara dengan iming-iming sejumalah uang, maka para terdakwa bisa menikmati hidup mewah bahkan di penjara sekalipun. Lebih-lebih masa hukuman dapat dipersingkat dan segera menghirup udara bebas.) 5. Lemah Iman (Iman Yang Lemah otamatis akan membuat seseorang akan jauh dari Tuhan YME. Hal itu merupakan faktor utama yang menyebabkan seseorang dengan mudah melakukan dan menerima suap. Mengesampingkan fakta bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah perbuatan dosa. Tidak ada rasa takut sama sekali akan perbuatan itu. Karena jika iya, mereka tidak akan pernah melakukan suap apalagi sampai melakukan korupsi karena perbuatan itu dapat menyeretnya ke neraka.) Hingga berita ini diturunkan belum ada informasi resmi dari suparjo (Obe)