
Foto: Fary Djemy Francis Ketua Umum PP GEKIRA, Ketua Fraksi GERINDRA MPR RI
Jakarta, aspirasipublik.com – Polemik dan menjadi viral di berbagai media terkait RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren merupakan satu dari 50 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2018. RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren itu menjadi bagian prolegnas ditetapkan dalam rapat paripurna DPR pada 5 Desember 2017 lalu.
Kemudian PGI juga menyorot soal syarat pendirian pendidikan keagamaan yaitu memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota
Adapun 2 Pasal RUU Pesantren dan Pendidikan Agama yang disinyalir kurang mewakili kepentingan masyarakat itu antara lain:Pasal 69 yaitu (1) Pendidikan Keagamaan Kristen jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis. (2) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh gereja, organisasi kemasyarakatan Kristen, dan lembaga sosial keagamaan Kristen lainnya dapat berbentuk satuan pendidikan atau program. (3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik. (4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). Dan Pasal 70 yaitu: (1) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Kristen yang diperoleh di Sekolah Dasar/ Sekolah Dasar Teologi Kristen, Sekolah Menengah Pertama/ Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen, Sekolah Menengah Atas/ Sekolah Menengah Teologi Kristen/Sekolah Menengah Agama Kristen atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan. (2) Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
Terkait Polemik terhadap RUU Pendidikan Keagamaan dan Pesantren terus berkepanjangan. Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Kristiani Indonesia Raya (PP GEKIRA), Fary Djemy Francis yang juga Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR RI, ambil sikap dengan pernyataanya sebagai berikut: Gerakan Kristiani Indonesia Raya (GEKIRA) terhadap polemik RUU Pendidikan Keagamaan dan Pesantren, Jumat (26/10/2018). 1. GEKIRA (Gerakan Kristiani Indonesia Raya) menilai usulan RUU Pendidikan Keagamaan dan Pesantren yang disampaikan beberapa fraksi di DPR RI, masih sebatas buah pikir Fraksi dan belum menjadi produk UU. Tentu dalam konteks ini, fraksi-fraksi di DPR RI perlu mengkaji dan mengkritisi poin-poin yang mereduksi kebebasan beragama dan dapat mengancam toleransi dan keutuhan NKRI sebagai negara beragama. 2. GEKIRA menegaskan sumber dan segala sumber hukum adalah UUD 1945. Di situ sudah diatur soal pengakuan negara terhadap kebebasan beragama dan menjalankan ibadah dengan segala bentuknya. Negara tidak boleh mencampuri urusan dan tata kelola setiap agama. 3. GEKIRA menyatakan RUU Pendidikan Keagamaan dan Pesantren yang diinisiasi awal oleh fraksi PPP dan PKB DPR RI perlu dikaji lebih dalam, lebih jauh dan lebih cermat lagi karena substansi kepentingannya melibatkan lebih dari satu agama. Bukan saja soal pesantren tetapi juga mengenai pendidikan keagamaan yang di wilayah non muslim. Harus ada upaya duduk bersama semua pemangku kepentingan dari agama terkait seperti PGI, KWI dan komponen lainnya agar RUU ini tidak pada akhirnya merusak bangunan kebangsaan yang telah dibangun bersama. 4. GEKIRA menilai salah satu pasal dalam RUU Pendidikan Keagamaan dan Pesantren mengindikasikan campur tangan negara dalam urusan tata peribadatan agama Kristen. Sekolah Minggu, Katekisasi adalah bagian dari pengajaran iman yang melekat dengan peribadatan. Intervensi negara melalui pembatasan peserta dan perizinan adalah hal yang tidak perlu. Biarkan setiap agama mengembangkan ajaran imannya dengan tetap berhati Pancasila dan berlandaskan UUD 1945. (Red)