
Foto: Fajar Paulana, S.H. Advokat / Alumni FHUI
Oleh: Fajar Paulana, S.H. (Advokat/Alumni FHUI)
Perkembangan praktek peradilan pidana di Indonesia sungguh mengalami berbagai perkembangan yang tak henti-hentinya. Dalam kasus Jesica Kumala Wongso menjadi sorotan bukan lagi karena perkaranya akan tetapi karena para ahli yang didatangkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum yang justru memukau banyak kalangan. Adu argumentasi dan pengetahuan menjadi ajang persilatan yang akhirnya tersaji secara sangat menarik melalui media massa. Ada suatu pembelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini yaitu bukti yang diperoleh melalui ahli menjadi hal yang begitu penting untuk diperlihatkan kepada majelis hakim. Sayangnya kehadiran ahli belakangan ini justru seolah ingin dibungkam dengan bentuk gugatan perdata, seoalh-olah karena pendapat ahli itulah seorang kemudian ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa.ami
Memahami alat bukti keterangan ahli dalam satu proses peradilan pidana menjadi penting untuk memahami perannya dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. Alat bukti berupa keterangan ahli pada hakekatnya merupakan satu dari beberapa alat bukti yang di rumsukan dalam Pasal 184 KUHAP. Memang dalam hal hakim mengambil suatu keputusan tentang akat bukti apa yang mendasari putusannya, maka pada dasarnya alat bukti yang dapat mendasari putusannya telah ditentukan secara limitatif dalam ketentuan undang-undang. Pada Pasal 184 KUHAP telah ditentukan secara limitatif bahwa yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti adalah:
- keterangan saksi;
- keterangan ahli
- surat
- petunjuk
- keterangan terdakwa
dengan ditentukannya jenis dari alat bukti ini maka alat bukti yang lain tidak dapat dipergunakan untuk mendasari keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara.
Namun tidak dapat dipungkiri terdapat permasalahan dalam memaknai alat-alat bukti tersebut dalam konteks perkembangan masyarakat khususnya perkembangan teknologi pada saat ini. Interpretasi terhadap makna alat bukti sebagaimana dikemukakan diatas berkembang tidak lagi sebatas apa yang dimaknai oleh pembentuk undang-undang. Dalam terminology yang dikenal dalam banyak literature berbahasa Inggris dikenal istilah “ eye witness”, “silence evidence”, “expert witness” atau “scientific evidence”. Makna evidence sendiri dikaitkan dengan system pembuktian yang dianut oleh KUHAP menjadi berbeda. Makna keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Makna ini sebetulnya dapat dinyatakan jelas, karena makna orang yang memiliki keahlian khusus menjadi sangat relative. KUHAP hanya memberikan penjelasan procedural terhadap posisi keterangan ahli yang hanya diperhitungkan ketika dinyatakan di muka persidangan. Bandingkan dengan Pasal 343 Nederland Straft Verordering (KUHAP Belanda) yang rumusannya sebagai berikut:
Onder verklaring van een deskundige wordt verstaan zijn bij het onderzoek op de terechtzitting afgelegde verklaring over wat zijn wetenschap en kennis hem leren omtrent datgene wat aan zijn oordeel onderworpen is, al dan niet naar aanleiding van een door hem in opdracht uitgebracht deskundigenverslag.
Dalam rumusan tersebut disampaikan bahwa keterangan ahli adalah apa yang dinyatakan ahli didepan sidang pengadilan tentang apa yang dipelajarinya untuk memberikan penjelasan tentang sesuatu hal tertentu atau untuk menjelaskan tentang hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya (tentang suatu hal tertentu). Hal ini berarti bahwa kekuatan pembuktian keterangan ahli hanyalah ketika dinyatakan dimuka pengadilan.
Dalam prakteknya, bagaimanakah pendapat yang diberikan ahli kepada penyidik para proses pra adjudikasi. Fungsi keterangan ahli dalam pandangan penulis, bukan sebagai alat bukti yang diperhitungkan berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, akan tetapi posisinya untuk memberikan pengayaan pengetahuan bagi pandangan penyidik dalam menilai perkara yang ditanganinya. Dalam hal ini pendapat ahli tidak dapat diperhitungkan sebagai kecukupan alat bukti baik dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP.
Peran ahli sesungguhnya penting dalam proses penyidikan. Dalam penanganan tindak pidana korupsi misalnya peran seorang auditor yang melakukan audit dan menemukan kejanggalan atas hasil laporan keuangan menjadi penting untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian Negara yang merupakan unsur yang menentukan. Begitupun seorang dokter ahli forensik dalam menentukan jejak kematian. Bahkan seorang ahli mesin dalam menentukan sebab suatu kecelakaan misalnya. Kerja para penyidik akan sangat bergantung pada pemahamannya tentang perkara yang ditanganinya. Sungguh dalam posisi seperti ini membedakan mana keterangan ahli dan mana keterangan saksi menjadi hal yang sulit. KUHAP hanya memberikan semacam pembedaan bahwa keterangan saksi adalah apa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Sementara ahli adalah keterangan yang diberikan berdasarkan keahliannya, atau memberikan penilaian terhadap apa yang sudah nyata dan memberikan kesimpulan atas hal tersebut.
Sebagaimana dikemukakan diatas, lembaga “keterangan ahli” dalam KUHAP di Indonesia pada dasarnya berfungsi untuk membantu hakim dalam mengungkapkan suatu kejahatan melalui menggunaan metode dan teknik analisa ilmiah dalam mengungkapkan suatu kejahatan. Sayangnya penggunaan ahli dalam proses peradilan pidana terkadang justru dicurigai hanya sebatas legitimasi saja untuk menyatakan bahwa dalil yang disampaikan penyidik, penuntut umum atau penasihat hukum adalah kuat. Seorang ahli sama dengan seorang saksi, bahwa ia sama-sama disumpah, namun makna sumpah dari ahli adalah bahwa yang diungkapkannya adalah didasarkan pada keyakinan analisa dan pandangan yang benar berdasarkan keahlian yang ia miliki.
Posisi ahli untuk menghadirkan bukti ilmiah kemuka persidangan pada hakekatnya adalah penting terkait dengan banyaknya proses pembuktian yang akhirnya membutuhkan keterangan ahli untuk menjelaskannya kemuka persidangan. Dalam hal suatu bukti berupa hasil pemeriksaan dokter apakah berbentuk visum atau berbentuk hasil analisa medis dalam kaitannya dengan terapi yang dilakukan, manakala itu berkaitan dengan suatu peristiwa pidana, dimana pengadilan memerintahkan ia menerangkan tentangsuatu hal yang berbasis pada pengetahuan kedokterannya, maka hal demikian bernilai sebagai suatu scientific evidence.
Pertanyaan apakah tepat mempermasalahkan pendapat seorang ahli atas pendapat yang diberikannya pada penyidik atau hakim. Dalam pandangan penulis, berdasarkan penjelasan dimana suatu scientific evidence pada dasarnya dibuat berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki, apalagi ia berada dibawah sumpah semestinya kecurigaan bahwa ahli menjadi tidak netral tidaklah berdasar. Suatu bukti ilmiah pada dasarnya adalah bukti yang dapat diuji kebenarannya secara obyektif. Ukuran kesahihan dari keterangan seorang ahli adalah didasarkan kepada validitas dan reabilitas data, metode atau pendekatan dan teori yang mendasari pendapatnya.
Sebagaimana dikemukakan diatas, suatu bukti ilmiah pada dasarnya harus dipahami dalam pandangan ilmu itu sendiri. Para ahli hanya meneliti dan melihat atas data yang ada padanya atau diberikan padanya. Hasil analisis atau pemeriksaan atas perkara yang dihadapi dan memberikan penjelasan kepada hakim tentang maksud sebenarnya menjadi penting dalam suatu proses pemeriksaan di pengadilan. Dalam kaitannya dengan bukti ilmiah yang berkembang dalam bidang ilmu eksakta atau kedokteran, pendekatan klinis biasanya dilakukan sehingga seharusnya menghasilkan hasil yang sama. Berbeda dengan para ahli hukum atau ahli ilmu sosial dimana dalam memandang suatu permasalahan bisa sajaberangkat dari sudut pandang dan pendekatan yang berbeda. Sehingga dimungkinkan penjelasan atas suatu perkara pidana menjadi berbeda. Dalam posisi ini memang menjadi tidak mudah bagi hakim untuk memutuskan pandangan mana yang menurutnya dapat menjadi dasar dari putusannya. Harus diingat bahwa KUHAP memang menyatakan bahwa keterangan ahli bukan merupakan sumber dari petunjuk. Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa sumber dari petunjuk adalah keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.