
Foto: Dr. Joko Susilo Raharjo Watimena, S.PdI., MM.
Oleh: Dr. Joko Susilo Raharjo Watimena, S.PdI., MM. Dosen Pasca Sarjana STIPAN Jakarta/Wartawan Aspirasi Publik
Adalah sebuah keniscayaan bahwa dalam memahami terbentuknya negara Indonesia ini tidak terlepas dari sejarah konektivitas perdagangan, kemaritiman serta hubungan kekerabatan kerajaan-kerajaan di nusantara jauh sebelum bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya. Konektivitas dimaksud dalam hal ini adalah hubungan antara kota-kota pelabuhan yang juga sekaligus sebagai pusat kekuasaan raja-raja ataupun penguasa pelabuhan tersebut sebagai bagian dari wilayah suatu kerajaan maritim nusantara saat itu.Beberapa kerajaan maritim nusantara yang terkenal dalam penguasaan jalur pelayaran dan perdagangan laut serta memiliki armada kemaritiman yang kuat diantaranya adalah Kerajaan Sriwijaya (7-14M), Kerajaan Majapahit (12- 15M), Kerajaan Gowa (13-16M), Bone (14-19M) serta Kerajaan Buton (14-19M) serta ratusan kerajaan lainnya. Pada waktu itu, konektivitas kemaritiman kerajaan-kerajaan tersebut saling berhubungan melalui transaksi perdagangan dan pelayaran perahu termasuk dalam hal penguasaan wilayah perairan dan daerah jajahan. Dengan demikian, memahami keberadaan Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa memahami sejarah Indonesia sebagai bangsa maritim. Bukan saja dilihat dari landasan historis bahwa nusantara pernah berjaya pada era kerajaan-kerajaan maritim sebelum masa penaklukan bangsa-bangsa dari Eropa, melainkan keberadaan dari warisan budaya maritim yang telah berlangsung turun-temurun sejak zaman nenek moyang sebagai bangsa pelaut. Sejarah telah mencatat bahwa jauh sebelum kemerdekaan, dikala masih merupakan bentuk otonom kerajaan- kerajaan besar, nusantara sudah dikenal dunia akan kemajuan dalam peradaban maritim. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, tradisi bahari di nusantara telah berkembang sangat pesat. Landasan historis inilah yang mendasari keinginan Presiden Soekarno mengembalikan kejayaan maritim Indonesia. Demikian hebatnya bangsa kita sebagai bangsa pelaut, diorasikan oleh Soekarno pada saat meresmikan Institut Angkatan Laut (yang sekarang adalah Akademi Angkatan Laut) tanggal 10 Oktober 1951 di Bumi Moro, Surabaya dalam pidatonya yang berjudul “ Jadilah Bangsa Pelaut “sebagai berikut:
“Usahakan agar kita menjadi pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal, Tapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang memiliki armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut, menandingi irama gelombang lautan itu sendiri”.
Dalam orasinya tersebut, Soekarno sangatlah menyadari akan potensi kemaritiman Indonesia yang sangat besar. Jika kekuatan-kekuatan laut tersebut di berdayakan maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Demikian juga sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut itu diabaikan, akan berakibat kerugian atau bahkan keruntuhan negara tersebut. Sebagai negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber daya laut yang melimpah, posisi strategis antara dua benua dan dua samudera, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi kekuatan laut yang luar biasa. Apabila potensi ini diberdayakan maka dapat dipastikan bahwa Indonesia akan berjaya. Mempertegas kembali akan pentingnya laut dan kemaritiman bagi Indonesia, dapat kita lihat juga pada gagasan Bung Karno yang disampaikan pada pembukaan Munas Maritim (National Maritime Convention) pada tahun 1963, sebagai berikut :
“Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang”
Semenjak awal pemerintahan Presiden Soekarno telah membentuk Dewan Maritim. Ia meyakini laut adalah sumber energi bersih terbarukan, sumber devisa wisata bahari ataupun sebagai penghubung pulau-pulau di dalam Indonesia maupun dengan negara luar. Perubahan cara pandang terjadi di era Orda Baru saat Soeharto berkuasa dan menjalankan pemerintahan sentralistiknya. Pemerintahan berjalan terpusat dengan titik berat pembangunan berubah menjadi pembangunan agraris. Dengan demikian potensi pengelolaan laut jelas terabaikan. Kementerian Koordinator Kemaritiman pun dihapus dan hilang tak berbekas. Ketertinggalan akan sektor kemaritiman pun tak terelakkan hingga puluhan tahun saat Soeharto berkuasa. Saat ini, secara kasat mata kita melihat perlombaan negara-negara didunia untuk meningkatkan kekuatan kemaritimannya. Diantaranya adalah raksasa ekonomi dunia Amerika Serikat dan Tiongkok yang berupaya untuk menguasai dan mendominasi kawasan Asia Pasifik sebagai pusat kekuatan ekonomi global saat ini, yaitu jalur perdagangan terkaya di abad ke-21. Untuk itulah dalam hubungannya dengan negara luar, saat ini menjadi momentum yang sangat tepat bagi Indonesia dalam memainkan peran yang sangat penting khususnya dikawasan Asia-Pasifik dan juga perekonomian global. Sejatinya kita harus menyadari bahwa kebijakan pemerintahan yang berat sebelah atau pembangunan kontinental yang sangat dominan dalam kenyataannya tidak mampu membawa kesejahteraan rakyat secara signifikan. Untuk itulah,dalam mengantisipasi kompetisi persaingan global yang akan berpusat di kawasan pasifik maka berbagai kemungkinan diterapkannya sistem ketatanegaraan yang lebih bersifat federal atau otonomi daerah yang luas menjadi sangat terbuka. Artinya orientasi pembangunan dengan sistem otonomi daerah tidak boleh lagi hanya memperhatikan wilayah kontinen. Wilayah maritim yang menjadi ciri negara kepulauan terbesar di dunia tidak boleh lagi terabaikan, seperti yang sekian lama telah terjadi di negara kita. Sejalan dengan hal tersebut, melalui pemerintahan Jokowi-JK perhatian terhadap wilayah laut dan kemaritiman mendapatkan porsi yang sangat besar. Presiden RI terpilih Joko Widodo pun memfokuskan pentingnya peranan maritim Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal ini merupakan kebijaksanaan pemerintah yang sangat strategis karena kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara bahari yang dikelilingi lautan. Alur pelayaran di Indonesia adalah merupakan jalur strategis perdagangan dunia. Untuk itulah Jokowi kembali mengelorakan semangat kemaritiman dan berupaya memanfaatkan semua potensi yang ada sebagai pendekatan untuk menjadikan Indonesia poros maritim dunia.Kebijakan pemerintahan Jokowi ini dapat dicermati jelas dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu, sebagai berikut:
“Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global. Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana…“
Pidato pelantikan yang hanya berdurasi sekitar sepuluh menit ini mendapat apresiasi sekaligus harapan besar dari masyarakat, khususnya menyangkut kebijakan pemerintahan Jokowi-JK untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Hal ini seakan mengulang kembali keinginan the founding father Soekarno bahwa kekuatan negara kita sebenarnya ada dilaut. Bahwa kenyataannya Indonesia dengan dua pertiga wilayah terdiri atas laut memiliki potensi besar untuk mengembangkan sektor kelautan. Untuk itulah diharapkan pemerintah saat ini tidak lagi kehilangan momentum dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut dan kemaritiman. Sekali lagi kekuatan kita ada di laut namun faktanya hingga sekarang ini kita sudah lama melupakan itu, sehingga seluruh kebijakan pemerintahan tidak terkonsentrasi kesana. Potensi besar kelautan dan kemaritiman selama ini belum mampu dinikmati karena pemanfaatan dan pengelolaanya yang tidak maksimal. Kebijakan-kebijakan pemerintahan yang diambil selama ini tidak berpihak pada sektor ini. Potensi ini justru dimanfaatkan oleh negara-negara lain yang menguras sumber daya ikan, memanfaatkan alur perdagangan dan maritim perairan Indonesia. Dapat dikatakan bahwa selama ini pemerintahan kita mengesampingkan laut dan pengelolaannya. Laut yang sebenarnya dapat memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, karena tidak ditangani secara serius justru lebih dinikmati oleh negara lainnya. Dilain pihak, Kebijaksanaan pembangunan di Indonesia diakui masih berbasis pada eksplorasi dan pengolahan wilayah daratan (land based development) bukan pada pembangunan yang berorientasi kelautan (ocean based development). Hal ini menjadi sangat ironis karena perairan Indonesia lebih luas dan begitu potensial untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.