
Oleh: Petrus Polyando
Ide, gagasan, konsep dan wacana tentang Papua Ideal telah banyak dikemukakan publik dari berbagai kalangan dengan sudut pandang yang beragam. Setiap hari berkembang terus bak jamur yang tumbuh dimusim hujan, dengan macam-macam cara yang disajikan. Ini memang patut diterima karena memang isu seksi Papua ini telah menjadi sorotan publik tidak hanya di level lokal, regional, nasional tetapi juga internasional. Beberapa tahun terakhir ini menjadi headline pemberitaan media massa cetak maupun elektronik, bahkan dalam ruang media sosial seringkali menjadi trending topik. Di masa pandemi ini pun rutin diangkat sebagai tema utama pada acara seminar hybrid event secara daring dan luring. Tentu banyak informasi menarik di bumi cendrawasih ini yang patut dibicarakan, mulai dari cerita ringan seputar kuliner, tempat wisata, sampai pada diskusi syarat emosi soal isu krusial sensitif seputar polemik pembangunan kesejahteraan. Papua seolah menyimpan banyak misteri dan menebar ragam kisah yang tiada habis, sehingga membuat orang semakin penasaran. Rasa ingin tahu publik semakin meningkat untuk melihat papua lebih dekat lewat dunia maya maupun datang berkunjung secara langsung.
Mengetahui potensi besar Papua yang dianugerahi keindahan gunung, lembah, pantai, danau, dan ragam budaya serta dilimpahi kekayaan tambang, ekspektasi publik pun semakin tinggi terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Adanya Tambang Grasberg yaitu tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia semakin meyakinkan orang menerima julukan Surga Kecil Yang Jatuh ke Bumi. Pengakuan atas banyak potensi unik, serta kekayaan sumber daya alam di atas bumi dan di perut bumi papua, ditambah lagi adat istiadat yang khas, memunculkan argumen kritis dari kalkulasi sederhana dan penalaran simpel bahwa semestinya dengan semua itu telah mengubah taraf hidup makmur masyarakat di sana secara adil. Warganet maupun audiens kemudian berusaha terlibat aktif, mengambil peran dan tanggungjawab menjadi bagian dari solusi melalui saran, kritik, komentar pada setiap forum diskusi. Apalagi di era teknologi informasi dan komunikasi ini orang semakin mudah mengekspresikan pikiran, perasaan dan pengalamannya tentang suatu obyek dalam banyak perspektif. Era kebebasan dan keterbukaan di berbagai ruang media sosial dan media massa memberikan kesempatan siapa saja dapat mengakses informasi sekaligus berpendapat secara merdeka.
Berbagai respon di dunia maya maupun di dunia nyata menunjukan bahwa kesejahteraan masyarakat di bumi cendrawasih ini belum mencapai harapan masyarakat. Dengan potensi yang besar semestinya orang yang mendiaminya memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, tercukupi semua kebutuhan dasar mereka dan terpenuhi hak-hak publik secara adil, terjangkau secara mudah dengan biaya yang murah. Namun melihat data IPM dari BPS yang terbit setiap tahunnya sebagai alat ukur terhadap capaian pembangunan manusia yang mencakup dimensi pokok pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat dua Daerah di Papua (Papua Dan Papua Barat) selalu berada di posisi terendah dari total 34 provinsi yang ada. Indeks Kemahalan Konstruksi pun demikian, kedua daerah Papua berada dalam kategori tinggi. Tentu masih banyak lainnya seperti indeks kesulitan geografis, inflasi dan perekonomian yang menunjukan hal ironis antara potensi besar yang diimpikan dengan kondisi faktual ketertinggalan Papua. Terhadap semua itu, timbul pertanyaan reflektif apa yang salah? Siapa yang bertanggungjawab? Bagaimana memperbaikinya? Kapan memulainya? dan Darimana memulainya?
Kalau ditelaah secara seksama atas berbagai wacana publik yang muncul, dapat disimpulkan pada satu kata kunci mengenai pengelolaan sebagai penghubung yang tepat menggambarkan kondisi yang ada dengan hasil yang dicapai. Ini terkait dengan upaya memperbarui sumber daya tersebut bernilai bagi pendapatan masyarakat sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Gagasan pengelolaan yang melekat dengan manajemen secara konseptual telah diterima sebagai penggerak utama sedangkan pembangunan adalah implikasinya, sehingga kesalahan manajemen dapat menyebabkan kegagalan pembangunan tersebut yang bisa berakibat bagi kemiskinan dan keterbelakangan. Ini sejalan dengan pemahaman Drucker bahwa tidak ada negara terbelakang, yang ada hanya tidak dikelola dengan baik (Drucker & Nakauchi, 1997). Kalau diletakan ke Papua, maka kondisi miskin dan terbelakang yang ada akibat dari pengelolaan yang buruk, sehingga solusi utama atas semua itu adalah memperbaiki manajemen pemerintahan pada semua dimensi substansial dalam rangka pengelolaan sumber daya yang bernilai guna dan berhasil guna secara produktif.
Sehubungan dengan pengelolaan dimaksud terdapat dua domain utama yaitu masyarakat dan pemerintah. Pada domain masyarakat terbagi atas sub domain orang miskin pedesaan dan sub domain orang kaya, yang keduanya memiliki cara yang berbeda dalam mengelola dan menggunakan sumber daya. Bagi masyarakat miskin pedesaan, akibat keterbatasan akses terhadap modal fisik dan keuangan sehingga seringkali tidak memiliki pilihan lain selain bergantung pada “sumber daya bersama” untuk makanan dan obat-obatan. Mereka mengelola dengan cara tradisional dan sangat terikat sistem alam sehingga kehidupan mereka berdasarkan hasil panen dari meramu, mengumpulkan makanan liar, mengukir kayu, dan mengumpulkan kayu bakar dan bahan bangunan sebagai strategi mitigasi risiko. Berbeda halnya dengan orang kaya yang memiliki keleluasaan akses atas modal fisik, teknologi dan keuangan, mereka dapat mengelola sumber daya secara modern. Bahkan secara selektif mereka mampu mengubah sumber daya tersebut bernilai guna secara masif. Atas kemampuan yang dimilikinya, mereka berkonsentrasi pada satu atau dua kegiatan diawal untuk mengoptimalkan investasi mereka, yang kemudian berkembang dalam dunia usaha yang lebih luas dan menguasai semua sektor. Sub domain orang kaya ini kemudian melahirkan domain baru yang dikenal dengan domain bisnis/dunia usaha yang sangat sarat modal dan materi.
Pada domain pemerintah, pengelolaan tentu berkaitan dengan upaya yang lebih luas mencakup keseluruhan ekosistem yang ada, bernilai guna sebesar-besarnya bagi hajat hidup orang banyak untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Sumber daya yang ada tidak hanya digunakan untuk generasi sekarang tapi harus memperhatikan keberlangsungan generasi yang akan datang. Barangkali pesan ahli konservasi Gifford Pinchot (1910) semakin menguatkan peran pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang ada. Bahwa hak generasi sekarang untuk menggunakan apa yang dibutuhkannya dan semua yang dibutuhkannya dari sumber daya alam yang sekarang tersedia harus sejalan dengan kewajibannya yang sama untuk menjamin agar keturunan berikutnya tidak kehilangan apa yang mereka butuhkan. Jadi, pemerintah berperan lebih komprehensif dalam pengelolaan, lebih luas cakupannya dan lebih sustainable. Hal ini tentu sejalan dengan tujuan dibentuk pemerintah serta peran dan fungsi yang melekat, sebagaimana digagas Ndraha (2003) bahwa pemerintah mempunyai fungsi Primer (pelayanan) dan fungsi sekunder (pemberdayaan), Rasyid (1996) pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan yang kemudian disepakati dalam UU 30/2014 mencakup perlindungan, pengaturan, pemberdayaan, pembangunan dan pelayanan. Jelas sebagai personifikasi negara yang memiliki kewenangan besar dan daya dukung yang komplit, menjalankan pengelolaan berarti melaksanakan secara umum tugas-tugas pokok pemerintahan antara lain : menjamin keamanan negara, memelihara ketertiban, menjamin diterapkannya perlakuan yang adil terhadap setiap warga negara, melakukan pekerjaan/urusan umum dan memberi pelayanan yang tidak mungkin dilakukan oleh lembaga nonpemerintah, meningkatkan kesejahteraan sosial, meningkatkan ketahanan ekonomi negara dan masyarakat, serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup (Rasyid, 1996).
Dengan pergeseran paradigma pembangunan papua dari pendekatan keamanan kepada pendekatan kesejahteraan maka perlu ditindaklanjuti dengan model pengelolaan yang tepat sehingga semakin berhasil guna. Hal penting yang perlu dikembangkan adalah Kolaborasi dengan melibatkan secara serius para pihak yang berkepentingan dengan Papua dalam pengelolaan bersama. Gagasan Kolaborasi yang dikedepankan ini sebagai sebuah proses dan struktur pengambilan keputusan dan manajemen kebijakan publik yang melibatkan orang-orang secara konstruktif melintasi batas-batas lembaga publik, tingkat pemerintahan, dan ruang publik, swasta, dan sipil untuk melaksanakan tujuan publik yang belum tercapai sebagaimana dikemukakan Ansell & Gash (2014). Dengan kolaborasi, para pihak yang berkepentingan akan saling jujur membagi peran sehingga kelak memperoleh manfaat yang sama sesuai harapan.
Pada konteks ini, kolaborasi pengelolaan kedua domain di atas, menjadi prime mover agar mampu mewujudkan surga kecil ini dinikmati seluruh masyarakat secara adil dan merata dari generasi ke generasi. Proses kolaborasi dimaksud mencakup lembaga dan aktor-aktor pemerintah dengan non pemerintah sesuai kewenangan, kapasitas dan sumber daya yang dimilikinya untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi upaya pembangunan yang ada. Aktor pemerintah ini mencakup pusat dan daerah dari berbagai sektor, di mana semuanya harus jujur mengungkapkan kepentingan strategisnya dan kebutuhannya. Sementara aktor non-pemerintah meliputi pelaku usaha (swasta), pihak gereja (misi) dan masyarakat yang terbagi atas orang asli papua (OAP) dan non-orang asli papua (Non-OAP). Ini juga perlu jujur menyampaikan kebutuhan dan kepentingannya untuk membangun Papua.
Peran pemerintah dengan daya dukungnya memang terlihat dominan, namun harapan kontribusi masyarakat dalam pembangunan tetap diletakan sehingga menjadi beban tanggungawab bersama dalam proses maupun menikmati hasil-hasilnya. Partisipasi dan kontribusi semua aktor melalui sistem pelibatan pengelolaan bersama tidak akan meniadakan satu dengan yang lainnya sehingga tidak ada yang merasa ditinggal atau diabaikan. Dengan kolaborasi, maka masalah Papua akan semakin mudah diidentifikasi sehingga semakin gamblang ditemukan solusinya. Pada akhirnya akan menjadi jembatan strategis mempercepat pembangunan sehingga mengubah wajah sejahtera Papua sejajar dengan daerah lainnya. Intinya adalah ketika mengawali dengan kejujuran maka tentu harus berkomitmen untuk melaksanakannya secara bersama melalui pembagian yang jelas dan konsisten sampai tujuan meningkatkan Papua sejahtera tercapai. Hanya dengan inilah akan mengisi celah yang selama ini mengalirkan praktik sia-sia dan menguntungkan segelintir orang. Momentum Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi titik balik menata Papua yang ideal sehingga akan benar-benar nyata sebagai Surga Kecil Yang Jatuh ke Bumi.