Oleh: Marulam J. Hutauruk, S.H. (Advokat/Konsultan Kekayaan Intelektual)
Senang sekali mendengar teman-teman seniman music yang tergabung dalam organisasi AMPLI (Aliansi Musisi dan Pencipta Lagu Indonesia) yang beberapa waktu lalu mengeluarkan statemen, salah satunya adalah menolak PP No. 56 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Maret 2021 lalu.
Sebelum AMPLI, kita juga mengetahui teman – teman yang aktif di PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta dan Pencipta Lagu Rekaman Indonesia) membahas hal yang serupa. Saya menikmati dan menyimak pembicaraan teman-teman seniman karena saya menjadi mengerti bahwa teman – teman yang dulu tidak ‘bersuara’ sekarang ‘bersuara’ bahkan teman – teman yang dahulu mendukung PP 56 Tahun 2021 saat awal di berlakukan, ternyata saat ini mereka berbalik haluan menolak PP tersebut. Artinya ekosistem music ini dinamis dan teman – teman seniman ternyata turut serta di dalam memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku dan mulai tidak hanya terfocus pada berkarya saja. Hal ini bagus sebagai peran serta dan menambah wacana diskusi dan langkah strategis menentukan arah pembentukan ekosistem music yang lebih baik lagi di Indonesia.
Sekali lagi saya kemukakan bahwa semua pihak ketika 30 Maret 2021, awal mula PP No. 56 Tahun 2021 diberlakukan semua pihak menyambut baik peraturan ini demi kepentingan kesejahteraan Pemilik Hak (Cipta) seperti Pencipta, Pelaku Pertunjukan serta Produser khusus terhadap royalty public performance (: royalty yang dihasilkan dari pemutaran music di tempat usaha seperti café, restaurant, pub, Karaoke, Pesawat Terbang, hotel).
‘Surat kaleng’ dilanjutkan dengan Klarifikasi Direktur PT LAS via medsos WhatsApplication tertanggal 1 September 2021 ditambah dengan pemberitaan Tempo 1-7 November 2021 di Halaman 76, sepertinya berujung pada sikap sebagian pihak yang anti kerjasama LMKN dengan PT LAS. Hingga kemudian teman – teman AMPLI ‘bersuara’ dan mengajak publik untuk menandatangani petisi menolak PP 56 Tahun 2021 ini.
Kami mencatat kronologis ini semata-mata karena adanya fakta LMKN telah menunjuk PT LAS yang menurut pendapat teman – teman ini tanpa melalui prosedur yang sesuai dan telah mengambil porsi 20% biaya operasional yang dianggap terlalu besar;
Catatan saya terhadap keluhan – keluhan (terakhir oleh AMPLI) tersebut setidak – tidaknya menolak PP 56/2021 karena issues sebagaimana dibawah ini:
- Menolak pengelolaan satu pintu di LMKN yang independen, karena menurut teman-teman yang menolak seharusnya satu pintu itu pada perwakilan LMK, atau penerima Kuasa LMK yang duduk sebagai Komisioner LMKN. Anngapannya, LMKN yang tidak terdiri dari representasi LMK LMK inilah menjadikan LMKN sebagai lembaga yang superbody, tidak demokratis, tidak terlebih dahulu membicarakan dengan LMK-LMK akan tetapi langsung menunjuk PT LAS;
- Menolak ketentuan bahwa hanya setiap Pemilik hak yang terdaftar pada sebuah LMK saja yang dapat menerima royalty publik performance oleh karena itu, menolak pula penggunaan Dana Cadangan (Reserve Royalti) milik/hak Pemilik Hak yang digunakan untuk jaminan social dan pendidikan;
- Menolak PP 56 Tahun 2021 karena Tugas dan Susunan LMKN yang tidak tepat. Seharusnya Komposisi Komisioner LMKN adalah orang-orang yang berasal dari setiap LMK;
- Menolak PP 56 Tahun 2021 seharusnya LMKN tidak dimungkinkan untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga;
- Menolak Biaya Operasional LMKN 20%;
Saya merasa perlu untuk terlebih dahulu menceritakan latar belakang LMKN yang sebenarnya muncul BUKAN KARENA PP No. 56/2021 tapi sejak UUHC. Cerita panjang sejak 2015 mengenai pengelolaan satu pintu yang seharusnya tidak di LMKN independen, yang sama sekali terbebas dari perwakilan LMK ini memang sudah sering kami dengar. Ada yang berulangkali menyampaikan latar belakang memorie van toelichting yang tunggal dan satu-satunya alasan yaitu bahwa user pusing bila ditagih oleh banyak LMK. Sehingga 1 pintu LMKN yang berisi ‘federasi’ LMK/perwakilan LMK adalah solusi yang dianggap tepat oleh setiap LMK. Akademisi ada juga yang berpikir seperti itu. Bahkan perdebatan akademisi mengenai LMKN (dengan N capital) dengan LMKn (dengan n huruf kecil) dianggap sebagai perdebatan yang penting untuk diulas. Apakah kita melupakan latar belakang dibentuknya LMKN adalah bahwa adanya pengelolaan royalty yang kurang baik (kalau boleh saya katakan ‘kacau’) di LMK, sehingga Pemilik Hak merasa menerima royalty tidak transparent, tidak fair dan tidak akuntabel. Oleh karena itu pemerintah sejak tahun 2014 mengambil alih pengelolaan royalty public performance ini dan melantik komisioner LMKN pada tahun 2015, membentuk lembaga ‘yang sengaja tidak terdiri dari perwakilan Pengurus LMK’ agar dapat secara obyektif, independen mengatur pengelolaan royalty music ini. Walaupun tidak dapat dipungkiri juga bahwa Bapak Adriyadie (Pencipta Lagu Widuri) saat itu masih menjadi Bendahara dari LMK KCI. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa Adriyadie, Haji Rhoma Irama, Sam Bimbo, Adi Kla, Ebiet G Ade adalah Pemilik Hak yang menjadi Komisioner LMKN jilid 1.
Dari latar belakang cerita inilah, maka negara mengambil keputusan melalui UUHC dan PerMenKumHAM Nomor 29 Tahun 2014 untuk mengambil alih pengelolaan royalty ini menjadi dikelola oleh Pemerintah. Jadi bukan semata-mata karena user ingin penarikan royalty 1 pintu saja. Bila LMK-nya ‘beres’ tentu pemerintah bukan kurang kerjaan untuk mengambil alih pengelolaan royalty music ini.
Apabila akademisi ingin ‘mendiskusikan’ hal ini secara keilmuan hukum, sebaiknya diskusi akademis hukum tersebut perlu menjawab suatu pertanyaan yaitu: Apakah tindakan pengambil alihan pengelolaan royalty Public Performance oleh negara ini melanggar hukum atau tidak? Dari pada kita terjebak di dalam diskusi LMKN besar atau LMKn huruf kecil yang tidak memenuhi ‘kemanfaatan hukum’.
Kembali kepada PP No. 56/2021, issue penunjukan PT LAS secara langsung oleh LMKN tidak ada kaitan langsung dengan ketentuan PP No. 56 Tahun 2021. Satu-satunya ketentuan dari PP 56/2021 yang dapat dikait-kaitkan dengan issue kerjasama LMKN dengan korporasi ini adalah Pasal 201. Bahwa dalam pembangunan dan pengembangan SILM (System Informasi Lagu dan/atau Musik), LMKN dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. Saya mengutip pernyataan Ebiet G. Ade di https://radarsemarang.jawapos.com/entertainment/2021/12/28/ditentang-sejumlah-musisi-ebiet-g-ade-turun-tangan/ (walaupun judul pemberitaannya ini tidak tepat dan provokatif yaitu: Ditentang Sejumlah Musisi, Ebiet G Ade Turun Tangan): “kita kan enggak mungkin bikin SILM sendiri.”
Memang tidak mungkin LMKN (dalam hal ini Ebiet G Ade sebagai Komisioner Bidang Informasi dan Teknologi) membangun SILM tersebut sendirian tanpa bantuan pihak lain atau kerjasama dengan pihak lain. Apalagi di dalam pembangunan dan pengembangan suatu sistem teknologi informasi tersebut tentu membutuhkan biaya/modal serta keahlian tertentu. Adalah logis apabila LMKN bekerja sama dengan pihak ketiga di dalam pembangunan SILM. Oleh karena itu, demi independensi, obyektifitas LMKN menjajagi kerja sama dengan pihak ketiga seperti LPIK-Institute Teknologi Bandung atau KPMG untuk membuat Cetak Biru SILM. Memang ada juga penunjukan PT LAS yang bukan hanya sebagai pihak yang akan membangun dan mengembangkan SILM akan tetapi juga aktifitas penarikan royalty. Nah, sampai di tahap penarikan royalty ini, tidak ada kaitannya dengan PP 56/2021. Penarikan Royalti yang dilaksanakan oleh PT LAS timbul dari kesempatan karena eksistensi Pelaksana Harian Pasal 6 ayat 1 dan 2 PerMenKumHAM No. 20/2021 dan BUKAN KARENA PP 56/2021.
Sebagai informasi, khusus mengenai Penarikan Royalti, selama ini LMKN sesuai dengan prinsip-prinsip hukum administrasi negara telah mendelegasikan penarikan royalty LMKN di Pasal 89 UUHC ini kepada 2 LMK (WAMI dan SELMI-sering disebut sebagai KP3R). Di sisi yang lain terdapat perubahan besar kebijakan hukum yang tadinya menurut Statuta LMKN Tahun 2015 bahwa setiap Komisioner LMKN memiliki kedudukan yang setara mandiri atau Collective Collegial dalam menentukan segala sesuatu, akan tetapi saat ini menjadi tidak lagi Collective Collegial dan Ketua lah berdasarkan Pasal 6 ayat 1 dan ayat 4 yang dapat menetapkan siapa Pelaksana Harian tersebut. Walaupun diskusi ‘keras’ sangat mungkin terjadi di antara Komisioner LMKN, akan tetapi ujungnya Ketua lah yang memiliki kewenangan menetapkan Pelaksana Harian, tetapi ketentuan tersebut bukan di PP No. 56/2021.
Jadi sebenarnya terdapat kesalah pahaman karena seolah-olah PP 56/2021 lah yang menentukan LMKN menggunakan sebuah korporasi seperti PT LAS untuk membangun SILM sekaligus menjadi Pelaksana Harian Badan Usaha Badan Hukum yang melakukan penarikan royalty kepada User, padahal tidak demikian. PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2020 – lah yang merubah kebijakan hukum mendasar dan BUKAN PP 56/2021.
Khusus mengenai Dana Cadangan, sekedar informasi bahwa berdasarkan Statuta LMKN 2015, LMKN sendiri sejak tahun 2016 telah menerapkan apa yang disebut dengan Reserve Royalti. Reserve Royalti ini adalah Royalti yang disisihkan sebesar 7% (Royalti Hak Pencipta) dan 14% (Royalti Hak Terkait) dari Jumlah Royalti yang telah diterima oleh LMKN. LMKN akan menyimpan Reserve Royalti tersebut selama 1 tahun untuk pihak-pihak yang ada di bawah ini:
- Pihak yang lagunya unlog performance maksudnya, lagunya diputar oleh User akan tetapi belum berhasil dicatat oleh user;
- Pihak-pihak yang mengalami dispute (perselisihan);
- Pemilik Hak yang belum mendaftar di salah satu LMK di Indonesia;
Terdapat issue dana royalty dipergunakan untuk jaminan social, pendidikan music, kegiatan social atau amal, serta insentive bagi Pemilik Hak yang telah menjadi anggota LMK. Hal ini muncul BUKAN KARENA PP 56 2021 tetapi karena PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2021. Baik mengenai Reserve Royalti (Dana Cadangan) dan/atau Royalti yang ‘seketika’ didistribusikan, semuanya itu sebenarnya adalah Royalti yang wajib didistribusikan. BUKAN PP 56/2021 yang telah salah memahami Reserve Royalti (Dana Cadangan) akan tetapi PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2021.
Pasal 20 ayat 2 PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2021 (BUKAN PP 56/2021):
“Royalti yang didistribusikan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a (Royalti bagi yang telah menjadi Anggota LMK, Dana Operasional dan Dana Cadangan) disisihkan untuk digunakan sebagai jaminan sosial bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak terkait.”
Pasal 25 PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2021 (BUKAN PP 56/2021):
“Dana cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat digunakan oleh LMKN untuk:
a. pendidikan musik;
- kegiatan sosial atau amal; dan
c. insentif bagi Pencipta dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota LMK.
Tentang Pemilik Hak yang tidak dapat menerima Royaltinya karena belum menjadi Anggota salah satu LMK di Indonesia, hal ini pun BUKAN KARENA PP 56/2021. Hal ini semata-mata karena ketentuan yang diatur oleh Pasal 87 ayat 1 UUHC:
“ Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial.”
Mengenai penolakan terhadap PP 56/2021 karena issue Tugas dan Susunan LMKN yang menurut sebagian pihak tidak tepat karena Komposisi Komisioner LMKN adalah orang-orang yang berasal dari setiap LMK; orang-orang professional/akademisi yang berpendidikan serendah-rendahnya Strata-2; dan struktur LMKN adalah sama dengan struktur yang ada pada LMK. Tentang hal ini semuanya tidak pernah ada di dalam PP 56/2021, tapi di PerMenKumHAM No. 36 Tahun 2018, PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2020 dan Draft Perubahan PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2021.
Khusus tentang Komposisi Komisioner LMKN yang berasal dari unsur LMK, sejak awal dibentuknya LMKN bahkan di tahun 2018 yaitu saat seleksi Komisioner LMKN, salah satu persyaratan mutlak yang wajib dipenuhi oleh calon Komisioner LMKN adalah menandatangani Surat Pernyataan melepaskan hubungan dengan kepengurusan LMK. Syarat ini dibebankan kepada calon untuk menghindari conflict of interest ketika salah satu pengurus LMK nantinya duduk sebagai Komisioner LMKN. Komisioner LMKN yang dari unsur LMK ini akan dianggap sudah tidak obyektif lagi untuk memutuskan sesuatu di LMKN, karena bias dengan kepentingan LMK-nya masing-masing.
Pengamatan saya sebagai salah satu Komisioner LMKN yang diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM sejak 28 Januari 2019 (hingga 28 Januari 2024), memang terdapat tarik menarik kepentingan tiap LMK di dalam LMKN. Contoh, secara hukum LMKN adalah lembaga yang melaksanakan tindakan Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti (Vide: Pasal 89 ayat 2 UUHC). Setiap tindakan penarikan royalty dari user membutuhkan pendelagasian kewenangan LMKN kepada salah satu atau salah dua LMK (saat ini terdapat 11 LMK) tapi tetap menggunakan rekening LMKN sebagai penampung uang royalti. Di tahun 2020 LMKN akan mendelegasikan kewenangannya menarik Royalti kepada LMK. LMKN memfasilitasi LMK-LMK berapat untuk menentukan LMK mana yang akan menerima delegasi kewenangan penarikan royalty. Rapat dilakukan hampir setiap minggu. Alhasil setiap rapat selalu dipenuhi dengan ‘simpang siur’ Tarik menarik kepentingan serta perdebatan LMK yang memakan waktu hampir 9 bulan. Singkat cerita setelah LMK tersebut tiba pada keputusan yaitu menunjuk LMK KCI dan LMK ARDI sebagai penerima delegasi penarikan, LMK KCI serta merta tidak bersedia datang untuk membicarakan teknis pelaksanaan penarikan tersebut tanpa alasan yang jelas. Sehingga Surat Keputusan Pemberian Delegasi Penarikan LMKN kepada LMK KCI dan LMK ARDI tidak dapat dilaksanakan. Masing-masing LMK secara ‘diam-diam’ akan melakukan penarikan royalty sendiri-sendiri yang membuat kacau ekosistem, dan user menjadi sangat direpotkan sehingga menghilangkan trust.
Permasalahan bahwa logsheet (data penggunaan lagu) dari user tidak pernah dianggap valid oleh beberapa LMK membuat tarik menarik kepentingan LMK semakin terasa ketika distribusi besaran royalty dari LMKN kepada tiap LMK. Data keanggotaan yang seringkali double claim antara LMK satu dengan yang lainnya juga menjadi biang permasalahan yang tidak kunjung selesai. Sehingga tiap LMK Hak Pencipta memiliki kepentingan sendiri-sendiri mengenai besaran Royalti yang menjadi haknya. LMK KCI mengclaim dirinya memiliki anggota hampir sebagian besar Pencipta di Republik ini diikuti LMK WAMI dan LMK RAI yang terakhir. LMK WAMI mengclaim bahwa dirinya yang memiliki perjanjian dengan digital Platform, sehingga distribusi royaltli dari digital platform sangat digantungkan dari perjanjian antara digital platform dengan LMK WAMI. Oleh karena itu dibutuhkan Komisioner LMKN yang independen, dan sama sekali tidak memiliki kepentingan dengan kepengurusan salah satu LMK.
PerMenKumHAM No. 29 Tahun 2014 dan PerMenKumHAM No. 36 Tahun 2018 ‘melarang’ keterwakilan/unsur LMK untuk duduk pada kursi Komisoner LMKN. Berbeda dengan PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2021 yang justru ‘mengijinkan’ bahkan Draft PerMenKumHAM Pengganti PerMenKumHAM No. 20 membagi-bagi ‘jatah’ 10 kursi Komisioner LMKN menjadi 3 kursi untuk unsur/pengurus LMK Hak Pencipta dan 3 kursi untuk unsur/pengurus LMK Hak Terkait. Kita mengetahui bahwa per desember 2021 telah ada 11 LMK di Indonesia terdiri dari 4 LMK Hak Pencipta dan 7 LMK Hak Terkait. Kita akan dapat memperkirakan ‘rieweuh’ nya ketika para LMK tersebut di dalam rapat akan menentukan keterwakilan LMK nya yang akan duduk di kursi Komisioner LMKN sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 9 ayat 5 Draft PerMenKumHAM Pengganti PerMenKumHAM No. 20/2021.
Kami mengetahui pula bahwa usulan keterwakilan LMK di Komisioner LMKN datang dari masukan seorang Musisi yang dianggap ahli mengenai LMK, dimana saat ini beliau telah kembali tinggal di Indonesia sepulangnya bertugas di WIPO (World Intellectual Property Organization). Menurut kami beliau telah secara gegabah mengidentikkan antara LMK dengan LMKN. LMK adalah lembaga privaat, sedangkan LMKN adalah lembaga yang melakukan tindakan tata usaha negara. Keduanya secara hukum memiliki characteristic yang sangat berbeda. Theory hukum Trias Politica: Judikatif, Legislative, Eksekutif yang dicoba untuk menjelaskan bahwa Judikatif, Legislative dan Eksekutif telah bercampur menjadi satu di LMKN adalah analogi ‘semrawut’ karena senyatanya sesuai dengan hukum administrasi negara LMKN itu melaksanakan tindakan eksekutif saja. Kalaupun ada Keputusan LMKN (misal tentang delegasi penarikan) atau suatu Peraturan LMKN tentang Panduan Distribusi (Guidance Distribution Rule: Transparent, Fair, Accountable) hal ini semata-mata dalam rangka melaksanakan tindakan Hukum Eksekutive Menteri Hukum dan HAM.
Termasuk perubahan kebijakan seorang unsur ahli/professional/akademisi/pakar hukum yang akan duduk di Kursi Komisioner LMKN yang setidak-tidaknya bergelar S2. Mengenai hal ini pun tidak ada di PP 56/2021, tetapi di Pasal 10 ayat 4b Draft Perubahan PerMenKumHAM No. 20/2021. Berdasarkan pengalaman kami sebagai Komisioner LMKN Bidang Hukum dan Litigasi yang pernah diwawancarai oleh puluhan Mahasiswa S2, kami mengetahui bahwa mahasiswa S2 Hukum pun tidak memahami tentang LMKN dan LMK ini. Permasalahan mendasarnya bukan terletak pada Strata Pendidikan, tetapi justru gabungan dari pengalaman yang cukup dengan materi hukum yang kontekstual dalam hal ini hukum Perdata, Hukum Hak Cipta, Hukum Administrasi Negara dan/atau Hukum Publik lainnya serta memahami ekosistem music di Indonesia dan juga luar negeri.
Jadi setiap ketentuan yang dibahas di atas, semuanya adalah hasil masukan dari seniman music juga. Akan tetapi sekali lagi, permasalahan yang dibicarakan di atas sama sekali TIDAK TERDAPAT PADA PP 56/2021.
Khusus mengenai Biaya Operasional LMKN 20%, baik sebagai pribadi maupun sebagai Komisioner LMKN yang diundang di dalam mendiskusikan ketentuan hukum, kami adalah pihak yang selalu menolak pembiayaan LMKN maksimal 20% tersebut. Bahwa Biaya Operasional LMKN 20% juga berasal dari masukan salah satu seniman music yang dianggap mengetahui tentang besarnya biaya operasional LMK.
Ketentuan biaya 20% ini BUKAN TERCANTUM PADA PP 56/2021 akan tetapi ada pada PerMenKumHAM No. 20 Tahun 2021 dan pada Draft Perubahan PerMenKumHAM No. 20.
Singkatnya, semua issue permasalahan di atas BUKAN-lah di PP No. 56/2021. Bila issue permasalahan tersebut tidak di PP No. 56/2021, Apakah Tindakan Yang Bijak Apabila Kita Membakar Seluruh Peternakan Hanya Untuk Membunuh Beberapa Tikus Yang Bersembunyi Di Jerami?